Thursday, July 24, 2008

Belajar tata kelola ke Blitar

Belajar tata kelola ke Blitar
Posted by daniriJuli 23, 2008Bisnis Indonesia, Rabu, 23 Juli 2008



Ternyata tidak harus menjadi kota besar atau kaya untuk berprestasi. Cukup dengan mengoptimalkan kemampuan ditambah tekad yang kuat, bukan mustahil sesuatu yang dipandang kecil bisa jadi juara.
Tengok saja puncak acara penganugerahan penghargaan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD Award), kemarin. Tidak satu pun wakil dari kota-kota besar-di luar Jakarta yang tidak masuk perhitungan-mengirimkan wakilnya ke atas podium untuk menerima penghargaan.

Kota Blitar, Jawa Timur yang merupakan saksi sejarah kelahiran dan menjadi makam salah satu founding father negeri ini, Soekarno itu menjadi juara umum.

Survei yang digelar KPPOD, United State Agency for International Development (USAID), dan Asia Foundation itu menilai 243 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Riset tersebut melibatkan 12.187 responden dari kalangan dunia usaha dan pelaku ekonomi.

Survei itu menilai Blitar, kota terkecil nomor dua di Jawa Timur de-ngan populasi 1,3 juta penduduk ini, layak menjadi juara karena sanggup melaksanakan tata kelola ekonomi yang baik dengan skor 76.
Riset itu menggunakan sembilan indikator untuk mengukur tata kelola pemerintahan daerah, a.l. akses terhadap lahan usaha dan kepastian hukum, perizinan usaha, interaksi pemda dengan pelaku usaha, kapasitas dan integritas bupati atau walikota, biaya transaksi di daerah, pengelolaan infrastruktur fisik dan daerah, keamanan dan resolusi konflik, dan peraturan daerah.

Menurut Anggota Dewan Pengurus KPPOD Anton J. Supit, berdasarkan sembilan indikator yang menjadi acuan survei, rata-rata nilai Blitar memuaskan dan menempati posisi teratas dari 243 kota itu.

Tidak tanggung-tanggung, selain sebagai juara umum, Blitar juga dinobatkan sebagai kota dengan perizinan usaha tercepat dan termudah. Hampir 80% pelaku usaha menyatakan tidak mengalami hambatan yang berarti untuk mendapatkan izin usaha di sana.

Berikutnya, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur dianggap KPPOD sebagai daerah dengan akses lahan dan kepastian status kepemilikan lahan terbaik. Hal ini dilihat dari waktu yang relatif singkat untuk mendapatkan sertifikat tanah dan pengurusan status lahan.
Dua bulan
Data KPPOD melansir rata-rata waktu untuk mendapatkan sertifikat tanah adalah dua bulan. Bahkan, dari 243 kota yang diteliti, terdapat 12 kota yang membutuhkan lebih dari enam bulan untuk mengurus status tanah.

Untuk kategori interaksi pemerintah daerah dengan pelaku usaha, KPPOD memberikan penghargaan kepada Kabupaten Musi Rawas, Sumatra Selatan. Kurang dari 30% koresponden meyakini hampir setiap daerah memiliki forum komunikasi yang menjembatani komunikasi antara pemda dan pengusaha.

Bantul, Yogyakarta yang merupakan daerah subur turut menerima penghargaan untuk kategori program pemerintah daerah dalam pengembangan usaha. Kondisi alam yang mendukung itu membuat Pemda Bantul mampu menggerakkan roda perekonomian dengan memberi perhatian lebih kepada pelaku usaha, terutama usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan menjadi jawara untuk kategori kapasitas dan integritas kepala daerah. Lebih dari dua per tiga pelaku usaha menilai kepala daerah Soppeng telah menempatkan para pejabat pemda sesuai dengan pengalaman dan kualifikasinya.

Kendati kecil pengaruhnya terhadap usaha, hal ini dinilai penting mengingat mayoritas responden menganggap praktik korupsi kerap berdekatan dengan pejabat pemda.
Untuk kategori efektivitas pungutan di daerah, KPPOD menyerahkan penghargaan kepada Kabupaten Tabanan, Bali.

Ketua Dewan Eksekutif KPPOD Bambang P.S. Brodjonegoro mengatakan hasil survei menunjukkan pelaku usaha kecil relatif dipungut retribusi lebih besar dibandingkan dengan pengusaha berskala besar. Hal ini menunjukkan pungutan-pungutan di daerah masih menjadi faktor yang membebani membebani dunia usaha.

Menurut dia, selain biaya formal, pelaku usaha di daerah juga terbebani dengan biaya yang sifatnya tidak resmi, seperti pungutan liar. Biasanya biaya informal tersebut masuk ke kantong aparat polisi, militer, pemda, organisasi massa dan preman. “Tapi paling banyak polisi dan ormas.”

Kemudian, Kabupaten Tuban di Jawa Timur menerima KPPOD Award untuk Kategori Pengelolaan Infrastruktur. Menurut Bambang, menjadi fokus pengamatan pengusaha adalah infrastruktur yang berkaitan dengan fasilitas publik. “Seperti lampu penerangan jalan, jalan raya, air dan listrik.”

Dewasa ini, pasokan listrik yang minim memaksa PLN melakukan pemadaman listrik secara bergilir. Bambang menekankan hal ini menjadi contoh betapa pengusaha amat dirugikan atas ketersediaan infrastruktur yang kurang memadai.

Dia meyakini ada korelasi kuat antara daerah yang punya banyak diesel dan intensitas pemadaman bergilir oleh PLN. “Daerah yang punya banyak diesel sendiri, biasanya lebih sering padam listriknya,” kata dia.

Daerah di Jawa Timur lain yang turut mendapat penghargaan kategori Kabupaten Pamekasan. Wilayah seluas 792,3 km2 ini dianggap KPPOD sebagai daerah yang paling aman untuk berinvestasi.
Kategori terakhir jatuh ke tangan Pemerintah Kota Prabumulih untuk kategori peraturan daerah (perda). Secara umum, hasil survei menunjukkan produk hukum Pemkot Prabumulih dinilai lebih baik dibandingkan dengan produk sejenis di kota lain.

Setidaknya ditemukan sejumlah permasalahan utama dari 932 perda yang menjadi unit analisis KPPOD, utamanya terkait perizinan, ketenagakerjaan, serta distribusi barang dan jasa.

Betulkah demikian? Menurut Neil McCulloch, ekonom The Asia Foundation, isu perizinan sebenarnya tidak lagi menjadi keprihatinan utama dari para pengusaha yang menjadi responden penelitian.

Dia menyebutkan ada tiga hal utama yang paling diperhatikan pengusaha. Pertama, kendala infrastruktur, khususnya akses lahan, kelistrikan dan jalan raya.

Kedua, interaksi antara pengusaha dan pemerintah daerah terutama dikaitkan dengan isu korupsi, meski sebenarnya tidak terlalu memengaruhi bisnis mereka.

Ketiga, perbedaan perlakuan yang mencolok antarkabupaten, bahkan tidak lagi kesenjangan Jawa dan luar Jawa melainkan dalam satu provinsi yang sama.

Mengenai kesenjangan itu, Neil menyebutkan semestinya daerah yang tertinggal mengambil pelajaran, bahwa ternyata daerah di tetangga dekatnya bisa melakukan lebih baik dalam berhubungan dengan dunia usaha.

Lantas siapa yang bertanggung jawab terhadap infrastruktur? Tentang infrastruktur, terutama jalan raya yang banyak dikeluhkan, Neil mengatakan hal itu mutlak menjadi tanggung jawab pemerintah lokal, bukan pemerintah pusat, terkait dengan implementasi otonomi.
Isu perda
Akan tetapi, ditilik dari sisi yuridis, substansi dan prinsip, jumlah perda bermasalah ternyata lebih banyak lagi.

Merujuk Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan sebagian besar dari 7.200 perda yang ada dan 1.800 rancangan perda yang diusulkan pemerintah daerah dinilai tidak bersahabat dengan dunia usaha.

Inilah yang dianggap sebagai penyebab terhambatnya investasi dan pertumbuhan ekonomi di daerah. Untuk itu, Menkeu merekomendasikan agar 28% dari total perda atau sekitar 2.000 perda agar dibatalkan.

“Sedangkan, 66% rancangan perda atau 1.200 raperda, kami pikir lebih baik dibatalkan daripada nanti menimbulkan keresahan,” tegas dia. (redaksi@bisnis.co.id)
.

Oleh Agust Supriadi
Kontributor Bisnis Indonesia

Tata Kelola Ekonomi

Bagaimana laskap ekonomi dan bisnis pasca-pergantian presiden? Pertanyaan ini mengandung implikasi yang substil, karena akan terkait dengan pola kebijakan serta corak strategi yang akan diambil oleh pemerintahan baru, sakaligus terkait juga dengan komposisi kabinet serta figur personalnya.
Pada umumnya, rekomendasi para ekonom terhadap pemerintah baru akan kembali pada dasar kebijakan ekonomi makro yang terpilah dalam kebijakan jangka pendek (short-term) dan panjang (long-term). Dalam jangka pendek, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang berpotensi menimbulkan gejolak sekaligus merancang kebijakan untuk meredamnya. Dalam hal ini, meski indikator-indikator dasar ekonomi makro (misalnya inflasi dan nilai tukar) terlihat stabil, tetapi ada dua faktor ekternal yang tidak mudah diprediksi, yaitu harga minyak dan serangan teroris. Implikasi kedua faktor ini terhadap APBN sangat signifikan.
Gejolak harga minyak di pasar dunia diprediksi akan terus berlanjut hingga tahun depan, apalagi setelah menembus batas psikologis 50 US$/baril. Sementara itu, serangan teroris semakin membuktikan dirinya mampu menusuk jantung wilayah yang paling aman sekalipun. Bom berkekuatan sedang yang meledak di wilayah pemukiman padat di depan kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Paris adalah bukti yang kesekian. Entah di mana dan kapan lagi, bom akan meledak, bahkan di wilayah yang kita anggap paling aman sekalipun.
Meskipun berada di luar domain utama ekonomi, tetapi perkembangan terakhir ini membuktikan bahwa kebijakan ekonomi tidak akan terlepas dari dimensi tersebut. Untuk itu, perangkat kebijakan harus sudah disiapkan dengan baik, agar gejolak eksternal tidak menginterupsi tatanan ekonomi makro dalam jangka pendek
Sementara itu, dalam jangka panjang, tugas pemerintah adalah mengindentifikasi faktor-faktor yang berpotensi menciptakan pertumbuhan ekonomi serta merancang bagaimana mendistribusikan hasil pertumbuhan tersebut. Pemetaan potensi industri oleh KADIN beberapa waktu lalu bisa jadi modal yang baik untuk memulai. Akhirnya, sinergi kebijakan jangka pendek dan panjang tersebut diharapkan mampu menghasilkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Sebuah mantra yang terlanjur menjadi klasik sekaligus klise.

Pijakan Keropos
Menyangkut pola kebijakan pemerintah baik dalam jangka panjang maupun pendek, pertanyaan yang lebih penting diajukan adalah soal “institusionalisasi” kebijakan tersebut. Dengan kata lain, dengan kerangka lembaga, regulasi dan tata-kelola macam apa sederetan kebijakan tersebut akan dilaksanakan?
Melalui kilas balik pelaksanaan kebijakan ekonomi di masa silam, terlihat sangat jelas bahwa tulang-punggung tata-kelola dari serentetan kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah sangat rapuh. Kerapuhan tersebut terlihat di ketiga pasar utama, yaitu pasar barang dan jasa (consumer market), pasar tenaga kerja (labor market) dan pasar keuangan (finansial market). Ketiga tipikal pasar saling mempengaruhi dan menentukan satu dengan yang lain.
Kisah ini bermula dari kebijakan besar deregulasi di era 1980-an. Kebijakan pertama pada waktu itu adalah me-liberalisasi pasar finansial. Salah satu caranya adalah mempermudah prosedur pendirian bank. Berkat kebijakan Paket Oktober (Pakto) 1988, dengan hanya bermodal Rp 10 miliar saja, kita sudah bisa mendirikan bank. Mudahnya izin pendirian bank membuat perbankan tumbuh sangat pesat dan luas; termasuk pembukaan cabang, ekspansi kredit, serta pendirian bank-bank devisa. Jumlah bank yang di tahun 1988 hanya berjumlah 111 bank, pada tahun 1994 menjadi 240 buah.
Jumlah bank meningkat dalam tujuh tahun sebanyak 51 bank dan cabang sebanyak 2.745 buah. Kenaikan pesat seperti ini telah menimbulkan kompetisi yang tidak sehat, dengan kualitas pengawasan perbankan yang sangat lemah. Jumlah aktiva dalam 7 tahun meningkat 398% (rata-rata 57% per-tahun). Padahal, dalam dunia perbankan yang normal kenaikan 12% setahun sudah dianggap agresif.
Hasil dari episode liberalisasi pasar finansial ini adalah rubuhnya sektor finansial dalam krisis 1997, sekaligus mendorong tumbangnya sektor-sektor ekonomi yang lain. Karena pasar finansial (terutama perbankan), runtuh maka pasar barang dan jasa serta pasar tenaga kerja turut mengalami kolaps. Banyak perusahaan yang tutup dan pindah ke luar negeri, sementara para penanam modal baru enggan datang. Produksi nasional melorot, kesempatan kerja makin terbatas dan pendapatan per-kapita masyarakat makin terkikis.
Begitulah runtuhnya rezim pasar bebas yang dimulai dari liberalisasi sektor finansial. Tetapi kisah buruk dalam periode yang busuk belum juga usai. Pemerintah yang turun tangah menyelesaikan masalah krisis ternyata menjadi sumber masalah berikutnya. Kebijakan penutupan bank (likuidasi), penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan pendirian Badan Penyehatan Perbankan Naional (BPPN) semuanya berakhir dengan menyisakan tanda tanya besar. Biaya besar, hasil tak jelas.
Para ekonom yang menyakini adanya siklus dalam ekonomi (business cycle theory) menganggap krisis sebagai sesuatu yang natural. Tetapi aksi ambil untung, pengunggang gelap dan praktek tak bermoral dengan cara mengambil keuntungan dari situasi krisis tentu bukan faktor yang tidak bisa dikendalikan. Dalam hal ini, pemerintah telah gagal menegakkan tata-kelola, sehingga krisis tidak juga bisa segera diatasi.

Pilar Utama
Kita menyesali betapa lembaga hyper-power seperti BPPN dibiarkan berlalu begitu saja. Masalahnya, bukan saja jumlah uang sangat banyak yang telah bercucuran entah ke mana, tetapi juga karena kita telah kehilangan peluang dan momentum untuk menata ulang (restructuring) serta meletakkan landasan bagi sistem tata kelola yang baik pada korporasi-korporasi dan terutama pada dunia perbankan agar di masa depan dapat kokoh berdiri. Sampai sekarang, tata kelola korporasi (corporate governance) di dunia perbankan masih terus timbul tenggelam.
Kita patut bergembira bahwa Fitch Rating (sebuah lembaga pemeringkat) telah merevisi ranking utang delapan bank di Indonesia, yaitu PT Bank Mandiri, PT Bank Negara Indonesia, PT Bank Rakyat Indonesia, PT Bank Central Asia, PT Bank Danamon Indonesia, PT Bank Internasional Indonesia, PT Bank NISP, dan PT Bank Buana, dari “stabil” menjadi “positif” (Kompas, 09/10/2004) Jika boleh menyesali, seandainya dari dulu tata kelola ditegakkan dengan baik, maka lebih cepat restrukturisasi perbankan diselesaikan, lebih cepat sektor riil bergerak, lebih cepat investor datang, dan lebih cepat terjadi pemulihan ekonomi.
Berbeda dengan krisis yang menimpa kawasan Amerika Latin dan Eropa Timur, corak krisis di kawasan Asia adalah tumbangnya tata kelola di du lini, yaitu tata kelola pemerintah (public) sekaligus tata kelola sektor swasta (private). Dengan karakteristik ini, para ahli menamai krisis Asia sebagai krisis ganda (twin crisis) atau krisis generasi ketiga (third generation). Salah satu muasal utama krisis macam ini adalah tidak terkendalinya liberalisasi tanpa ada fondasi regulasi yang cukup untuk mengikutinya.
Belajar dari pengalaman ini, ada baiknya pemerintahan yang baru menggunakan paradigma yang baru pula, agar tidak terjebak pada masalah yang sama sehingga kita tidak juga bisa melangkah maju. Integrasi tiga pasar utama (barang/jasa, tenaga kerja dan finansial) sudah tidak bisa dielakkan lagi, sehingga regulasi yang mengatur ketiganya tidak bisa lagi mengabaikan kondisi pasar yang satu dengan yang lainnya.
Fleksibilitas pada satu pilar pasar, pastilah membutuhkan kelenturan di pasar yang lain. Tetapi rumus dasarnya tetap sama, kelenturan dan liberalisasi yang merajalela tanpa ada tata kelola, hanya akan menghantarkan kita pada satu krisis ke krisis yang lain. Tata kelola adalah prasyarat yang tidak bisa ditawar oleh pemerintahan baru ini, entah siapapun anggota kabinetnya.