Friday, March 28, 2008

Mahasiswa apolitis mudah dibodohi

Diskusi UNAS: Mahasiswa apolitis mudah dibodohi

Perspektif Online
05 December 2007

Perspektif Baru di Universitas Nasional


Tak Kenal Maka Tak Sayang

Oleh Dewi Noviana, Perspektif Online

Di tengah rintik hujan yang mengguyur Jakarta sejak semalam, Wimar Witoelar masuk ke ruang Aula Universitas Nasional (Unas) yang terletak di daerah Pejaten. Ia menyusul Syamsuddin Haris, peneliuti L:IPI, yang menjadi salah satu narasumber dalam Talkshow Perspektif Baru yang mengangkat tema Demokrasi dan Pluralisme: Presiden Alternatif di Mata Mahasiswa. Tak lama, tepat pukul 14.00 Yenny Wahid, Sekjen PKB, pun tiba. Acara dibuka oleh Pudek III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas Drs. Amrul Natalsa Sitompul, M.Si.


Kapasitas Aula Unas yang dapat menampung lebih kurang 300 orang, padat dipenuhi oleh para mahasiswa dari berbagai jurusan, bahkan ada dosen yang mengalihkan kegiatan perkuliahannya ke talkshow itu. Selain itu tak ketinggalan segelintir orang umum yang tertarik untuk mengikuti acara itu. Tak selang berapa lama setelah acara dibuka, mahasiswa FISIP Unas langsung menyerang Yenny Wahid. Lisa sang mahasiswa mencurigai ada niat buruk dibalik kedatangan Yenny ke Unas. Sangkaan Lisa dibalas Yenny dengan kepala dingin bahwa memang dewasa ini rakyat tidak mempercayai politik karena aktor-aktor politik yang berdiri di belakang parpolnya, tetapi Yenny menegaskan bahwa kedatangannya kali ini tidak ada sangkut-pautnya dengan kampanye politik. WW sebagai pihak pengundang merasa tidak enak dengan Yenny sehingga dia merasa perlu untuk menegaskan maksud kedatangan Yenny. Maksud Perspektif Baru adalah menampilkan seorang analis (Syamsudin Haris) dan seorang pelaku (Yenny Wahid) agar pembicaraan mengenai pemilihan presiden mengandung substansi.

Menurutnya bagus mengundang politikus, sebab kita perlu juga mendengar orang yang kita tidak sukai. . Lain kali boleh mengundang politikus lain. Bahkan, bagus kalau diundang semauanya bergantian, nanti lihat siapa yang mau berdialog dengan publik dan siapa yang tidak. Syamsudin Haris menambahkan bahwa mahasiswa tidak perlu takut bertemu politikus, masa sih, didatangin sekali dua kali saja merasa akan dikuasai pikirannya? Menurut WW kalaupun ada yang mau berkampanye, yang terlihat lebih siap adalah dia sendiri, yang selain sebagai pimpinan diskusi, teman-temannya juga berjualan kaos gambar dirinya dengan aneka warna ceria yang mewakili karakter dirinya.

foto lengkap ada di flickr

Komentar Lisa disusul dua mahasiswa lainnya, Rizki dan Ratnasari, dan talkshow mulai kelihatan alur ceritanya untuk membahas sosok presiden alternatif yang diingini oleh kaum muda. Menurut Nur Sailan sorang mahasiswa FISIP, presiden yang diinginkan oleh anak muda adalah orang yang dari segi umur memang muda, bukan hanya ’generasi maghrib’ yang terus menguasai dunia perpolitikan di Indonesia. Dia menginginkan orang muda tak hanya jadi pendorong mobil tetapi juga mampu duduk di kursi pengemudi.

WW merasa tidak penting muda atau tua, seperti ditulis dalam Seputar Indonesia, yang penting oke orangnya. Syamsuddin Haris, peneliti LIPI mengungkapkan bahwa orang muda janganlah apolitis karena akan mudah untuk dibodohi. Kata WW, seperti menonton film, kita harus tahu dan mengerti jalan ceritanya dulu, baru bisa mengomentarinya.

Yenny mengakui mengundang orang-orang 'baik' untuk ikut dalam dunia politik Dirinya pun sempat mengalami kebimbangan pada awalnya untuk terjun ke dunia politik, tetapi akhirnya dia sadar bahwa untuk memperbaiki sistem politik yang bobrok dibutuhkan orang-orang yang mau melakukan pendobrakan. Dengan adanya kekuatan demokrasi yang memungkinkan semua warga negara Indonesia untuk memilih presiden pilihannya, terbuka kesempatan bagi kita untuk berbondong-bondong menjagokan calon kita. Kalau kita punya calon di luar partai, calon independen yang kita ajukan pun harus memenuhi kriteria sebagai pemimpin masa depan.

WW menegaskan bahwa sosok pemimpin ideal di masa depan adalah orang yang peka, mengerti dan mampu mengolah isu yang terjadi di negaranya. Jangan hanya orang yang memiliki kekuatan pendukungnya, tetapi haruslah orang yang demokratis. Untuk itulah diperlukan seleksi jua untuk para calon presiden. Kita tak hanya menyukainya secara subyektif, tetapi harus juga melihat sisi objektif kemampuannya. Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang.