Thursday, July 24, 2008

Belajar tata kelola ke Blitar

Belajar tata kelola ke Blitar
Posted by daniriJuli 23, 2008Bisnis Indonesia, Rabu, 23 Juli 2008



Ternyata tidak harus menjadi kota besar atau kaya untuk berprestasi. Cukup dengan mengoptimalkan kemampuan ditambah tekad yang kuat, bukan mustahil sesuatu yang dipandang kecil bisa jadi juara.
Tengok saja puncak acara penganugerahan penghargaan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD Award), kemarin. Tidak satu pun wakil dari kota-kota besar-di luar Jakarta yang tidak masuk perhitungan-mengirimkan wakilnya ke atas podium untuk menerima penghargaan.

Kota Blitar, Jawa Timur yang merupakan saksi sejarah kelahiran dan menjadi makam salah satu founding father negeri ini, Soekarno itu menjadi juara umum.

Survei yang digelar KPPOD, United State Agency for International Development (USAID), dan Asia Foundation itu menilai 243 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Riset tersebut melibatkan 12.187 responden dari kalangan dunia usaha dan pelaku ekonomi.

Survei itu menilai Blitar, kota terkecil nomor dua di Jawa Timur de-ngan populasi 1,3 juta penduduk ini, layak menjadi juara karena sanggup melaksanakan tata kelola ekonomi yang baik dengan skor 76.
Riset itu menggunakan sembilan indikator untuk mengukur tata kelola pemerintahan daerah, a.l. akses terhadap lahan usaha dan kepastian hukum, perizinan usaha, interaksi pemda dengan pelaku usaha, kapasitas dan integritas bupati atau walikota, biaya transaksi di daerah, pengelolaan infrastruktur fisik dan daerah, keamanan dan resolusi konflik, dan peraturan daerah.

Menurut Anggota Dewan Pengurus KPPOD Anton J. Supit, berdasarkan sembilan indikator yang menjadi acuan survei, rata-rata nilai Blitar memuaskan dan menempati posisi teratas dari 243 kota itu.

Tidak tanggung-tanggung, selain sebagai juara umum, Blitar juga dinobatkan sebagai kota dengan perizinan usaha tercepat dan termudah. Hampir 80% pelaku usaha menyatakan tidak mengalami hambatan yang berarti untuk mendapatkan izin usaha di sana.

Berikutnya, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur dianggap KPPOD sebagai daerah dengan akses lahan dan kepastian status kepemilikan lahan terbaik. Hal ini dilihat dari waktu yang relatif singkat untuk mendapatkan sertifikat tanah dan pengurusan status lahan.
Dua bulan
Data KPPOD melansir rata-rata waktu untuk mendapatkan sertifikat tanah adalah dua bulan. Bahkan, dari 243 kota yang diteliti, terdapat 12 kota yang membutuhkan lebih dari enam bulan untuk mengurus status tanah.

Untuk kategori interaksi pemerintah daerah dengan pelaku usaha, KPPOD memberikan penghargaan kepada Kabupaten Musi Rawas, Sumatra Selatan. Kurang dari 30% koresponden meyakini hampir setiap daerah memiliki forum komunikasi yang menjembatani komunikasi antara pemda dan pengusaha.

Bantul, Yogyakarta yang merupakan daerah subur turut menerima penghargaan untuk kategori program pemerintah daerah dalam pengembangan usaha. Kondisi alam yang mendukung itu membuat Pemda Bantul mampu menggerakkan roda perekonomian dengan memberi perhatian lebih kepada pelaku usaha, terutama usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan menjadi jawara untuk kategori kapasitas dan integritas kepala daerah. Lebih dari dua per tiga pelaku usaha menilai kepala daerah Soppeng telah menempatkan para pejabat pemda sesuai dengan pengalaman dan kualifikasinya.

Kendati kecil pengaruhnya terhadap usaha, hal ini dinilai penting mengingat mayoritas responden menganggap praktik korupsi kerap berdekatan dengan pejabat pemda.
Untuk kategori efektivitas pungutan di daerah, KPPOD menyerahkan penghargaan kepada Kabupaten Tabanan, Bali.

Ketua Dewan Eksekutif KPPOD Bambang P.S. Brodjonegoro mengatakan hasil survei menunjukkan pelaku usaha kecil relatif dipungut retribusi lebih besar dibandingkan dengan pengusaha berskala besar. Hal ini menunjukkan pungutan-pungutan di daerah masih menjadi faktor yang membebani membebani dunia usaha.

Menurut dia, selain biaya formal, pelaku usaha di daerah juga terbebani dengan biaya yang sifatnya tidak resmi, seperti pungutan liar. Biasanya biaya informal tersebut masuk ke kantong aparat polisi, militer, pemda, organisasi massa dan preman. “Tapi paling banyak polisi dan ormas.”

Kemudian, Kabupaten Tuban di Jawa Timur menerima KPPOD Award untuk Kategori Pengelolaan Infrastruktur. Menurut Bambang, menjadi fokus pengamatan pengusaha adalah infrastruktur yang berkaitan dengan fasilitas publik. “Seperti lampu penerangan jalan, jalan raya, air dan listrik.”

Dewasa ini, pasokan listrik yang minim memaksa PLN melakukan pemadaman listrik secara bergilir. Bambang menekankan hal ini menjadi contoh betapa pengusaha amat dirugikan atas ketersediaan infrastruktur yang kurang memadai.

Dia meyakini ada korelasi kuat antara daerah yang punya banyak diesel dan intensitas pemadaman bergilir oleh PLN. “Daerah yang punya banyak diesel sendiri, biasanya lebih sering padam listriknya,” kata dia.

Daerah di Jawa Timur lain yang turut mendapat penghargaan kategori Kabupaten Pamekasan. Wilayah seluas 792,3 km2 ini dianggap KPPOD sebagai daerah yang paling aman untuk berinvestasi.
Kategori terakhir jatuh ke tangan Pemerintah Kota Prabumulih untuk kategori peraturan daerah (perda). Secara umum, hasil survei menunjukkan produk hukum Pemkot Prabumulih dinilai lebih baik dibandingkan dengan produk sejenis di kota lain.

Setidaknya ditemukan sejumlah permasalahan utama dari 932 perda yang menjadi unit analisis KPPOD, utamanya terkait perizinan, ketenagakerjaan, serta distribusi barang dan jasa.

Betulkah demikian? Menurut Neil McCulloch, ekonom The Asia Foundation, isu perizinan sebenarnya tidak lagi menjadi keprihatinan utama dari para pengusaha yang menjadi responden penelitian.

Dia menyebutkan ada tiga hal utama yang paling diperhatikan pengusaha. Pertama, kendala infrastruktur, khususnya akses lahan, kelistrikan dan jalan raya.

Kedua, interaksi antara pengusaha dan pemerintah daerah terutama dikaitkan dengan isu korupsi, meski sebenarnya tidak terlalu memengaruhi bisnis mereka.

Ketiga, perbedaan perlakuan yang mencolok antarkabupaten, bahkan tidak lagi kesenjangan Jawa dan luar Jawa melainkan dalam satu provinsi yang sama.

Mengenai kesenjangan itu, Neil menyebutkan semestinya daerah yang tertinggal mengambil pelajaran, bahwa ternyata daerah di tetangga dekatnya bisa melakukan lebih baik dalam berhubungan dengan dunia usaha.

Lantas siapa yang bertanggung jawab terhadap infrastruktur? Tentang infrastruktur, terutama jalan raya yang banyak dikeluhkan, Neil mengatakan hal itu mutlak menjadi tanggung jawab pemerintah lokal, bukan pemerintah pusat, terkait dengan implementasi otonomi.
Isu perda
Akan tetapi, ditilik dari sisi yuridis, substansi dan prinsip, jumlah perda bermasalah ternyata lebih banyak lagi.

Merujuk Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan sebagian besar dari 7.200 perda yang ada dan 1.800 rancangan perda yang diusulkan pemerintah daerah dinilai tidak bersahabat dengan dunia usaha.

Inilah yang dianggap sebagai penyebab terhambatnya investasi dan pertumbuhan ekonomi di daerah. Untuk itu, Menkeu merekomendasikan agar 28% dari total perda atau sekitar 2.000 perda agar dibatalkan.

“Sedangkan, 66% rancangan perda atau 1.200 raperda, kami pikir lebih baik dibatalkan daripada nanti menimbulkan keresahan,” tegas dia. (redaksi@bisnis.co.id)
.

Oleh Agust Supriadi
Kontributor Bisnis Indonesia

Tata Kelola Ekonomi

Bagaimana laskap ekonomi dan bisnis pasca-pergantian presiden? Pertanyaan ini mengandung implikasi yang substil, karena akan terkait dengan pola kebijakan serta corak strategi yang akan diambil oleh pemerintahan baru, sakaligus terkait juga dengan komposisi kabinet serta figur personalnya.
Pada umumnya, rekomendasi para ekonom terhadap pemerintah baru akan kembali pada dasar kebijakan ekonomi makro yang terpilah dalam kebijakan jangka pendek (short-term) dan panjang (long-term). Dalam jangka pendek, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang berpotensi menimbulkan gejolak sekaligus merancang kebijakan untuk meredamnya. Dalam hal ini, meski indikator-indikator dasar ekonomi makro (misalnya inflasi dan nilai tukar) terlihat stabil, tetapi ada dua faktor ekternal yang tidak mudah diprediksi, yaitu harga minyak dan serangan teroris. Implikasi kedua faktor ini terhadap APBN sangat signifikan.
Gejolak harga minyak di pasar dunia diprediksi akan terus berlanjut hingga tahun depan, apalagi setelah menembus batas psikologis 50 US$/baril. Sementara itu, serangan teroris semakin membuktikan dirinya mampu menusuk jantung wilayah yang paling aman sekalipun. Bom berkekuatan sedang yang meledak di wilayah pemukiman padat di depan kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Paris adalah bukti yang kesekian. Entah di mana dan kapan lagi, bom akan meledak, bahkan di wilayah yang kita anggap paling aman sekalipun.
Meskipun berada di luar domain utama ekonomi, tetapi perkembangan terakhir ini membuktikan bahwa kebijakan ekonomi tidak akan terlepas dari dimensi tersebut. Untuk itu, perangkat kebijakan harus sudah disiapkan dengan baik, agar gejolak eksternal tidak menginterupsi tatanan ekonomi makro dalam jangka pendek
Sementara itu, dalam jangka panjang, tugas pemerintah adalah mengindentifikasi faktor-faktor yang berpotensi menciptakan pertumbuhan ekonomi serta merancang bagaimana mendistribusikan hasil pertumbuhan tersebut. Pemetaan potensi industri oleh KADIN beberapa waktu lalu bisa jadi modal yang baik untuk memulai. Akhirnya, sinergi kebijakan jangka pendek dan panjang tersebut diharapkan mampu menghasilkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Sebuah mantra yang terlanjur menjadi klasik sekaligus klise.

Pijakan Keropos
Menyangkut pola kebijakan pemerintah baik dalam jangka panjang maupun pendek, pertanyaan yang lebih penting diajukan adalah soal “institusionalisasi” kebijakan tersebut. Dengan kata lain, dengan kerangka lembaga, regulasi dan tata-kelola macam apa sederetan kebijakan tersebut akan dilaksanakan?
Melalui kilas balik pelaksanaan kebijakan ekonomi di masa silam, terlihat sangat jelas bahwa tulang-punggung tata-kelola dari serentetan kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah sangat rapuh. Kerapuhan tersebut terlihat di ketiga pasar utama, yaitu pasar barang dan jasa (consumer market), pasar tenaga kerja (labor market) dan pasar keuangan (finansial market). Ketiga tipikal pasar saling mempengaruhi dan menentukan satu dengan yang lain.
Kisah ini bermula dari kebijakan besar deregulasi di era 1980-an. Kebijakan pertama pada waktu itu adalah me-liberalisasi pasar finansial. Salah satu caranya adalah mempermudah prosedur pendirian bank. Berkat kebijakan Paket Oktober (Pakto) 1988, dengan hanya bermodal Rp 10 miliar saja, kita sudah bisa mendirikan bank. Mudahnya izin pendirian bank membuat perbankan tumbuh sangat pesat dan luas; termasuk pembukaan cabang, ekspansi kredit, serta pendirian bank-bank devisa. Jumlah bank yang di tahun 1988 hanya berjumlah 111 bank, pada tahun 1994 menjadi 240 buah.
Jumlah bank meningkat dalam tujuh tahun sebanyak 51 bank dan cabang sebanyak 2.745 buah. Kenaikan pesat seperti ini telah menimbulkan kompetisi yang tidak sehat, dengan kualitas pengawasan perbankan yang sangat lemah. Jumlah aktiva dalam 7 tahun meningkat 398% (rata-rata 57% per-tahun). Padahal, dalam dunia perbankan yang normal kenaikan 12% setahun sudah dianggap agresif.
Hasil dari episode liberalisasi pasar finansial ini adalah rubuhnya sektor finansial dalam krisis 1997, sekaligus mendorong tumbangnya sektor-sektor ekonomi yang lain. Karena pasar finansial (terutama perbankan), runtuh maka pasar barang dan jasa serta pasar tenaga kerja turut mengalami kolaps. Banyak perusahaan yang tutup dan pindah ke luar negeri, sementara para penanam modal baru enggan datang. Produksi nasional melorot, kesempatan kerja makin terbatas dan pendapatan per-kapita masyarakat makin terkikis.
Begitulah runtuhnya rezim pasar bebas yang dimulai dari liberalisasi sektor finansial. Tetapi kisah buruk dalam periode yang busuk belum juga usai. Pemerintah yang turun tangah menyelesaikan masalah krisis ternyata menjadi sumber masalah berikutnya. Kebijakan penutupan bank (likuidasi), penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan pendirian Badan Penyehatan Perbankan Naional (BPPN) semuanya berakhir dengan menyisakan tanda tanya besar. Biaya besar, hasil tak jelas.
Para ekonom yang menyakini adanya siklus dalam ekonomi (business cycle theory) menganggap krisis sebagai sesuatu yang natural. Tetapi aksi ambil untung, pengunggang gelap dan praktek tak bermoral dengan cara mengambil keuntungan dari situasi krisis tentu bukan faktor yang tidak bisa dikendalikan. Dalam hal ini, pemerintah telah gagal menegakkan tata-kelola, sehingga krisis tidak juga bisa segera diatasi.

Pilar Utama
Kita menyesali betapa lembaga hyper-power seperti BPPN dibiarkan berlalu begitu saja. Masalahnya, bukan saja jumlah uang sangat banyak yang telah bercucuran entah ke mana, tetapi juga karena kita telah kehilangan peluang dan momentum untuk menata ulang (restructuring) serta meletakkan landasan bagi sistem tata kelola yang baik pada korporasi-korporasi dan terutama pada dunia perbankan agar di masa depan dapat kokoh berdiri. Sampai sekarang, tata kelola korporasi (corporate governance) di dunia perbankan masih terus timbul tenggelam.
Kita patut bergembira bahwa Fitch Rating (sebuah lembaga pemeringkat) telah merevisi ranking utang delapan bank di Indonesia, yaitu PT Bank Mandiri, PT Bank Negara Indonesia, PT Bank Rakyat Indonesia, PT Bank Central Asia, PT Bank Danamon Indonesia, PT Bank Internasional Indonesia, PT Bank NISP, dan PT Bank Buana, dari “stabil” menjadi “positif” (Kompas, 09/10/2004) Jika boleh menyesali, seandainya dari dulu tata kelola ditegakkan dengan baik, maka lebih cepat restrukturisasi perbankan diselesaikan, lebih cepat sektor riil bergerak, lebih cepat investor datang, dan lebih cepat terjadi pemulihan ekonomi.
Berbeda dengan krisis yang menimpa kawasan Amerika Latin dan Eropa Timur, corak krisis di kawasan Asia adalah tumbangnya tata kelola di du lini, yaitu tata kelola pemerintah (public) sekaligus tata kelola sektor swasta (private). Dengan karakteristik ini, para ahli menamai krisis Asia sebagai krisis ganda (twin crisis) atau krisis generasi ketiga (third generation). Salah satu muasal utama krisis macam ini adalah tidak terkendalinya liberalisasi tanpa ada fondasi regulasi yang cukup untuk mengikutinya.
Belajar dari pengalaman ini, ada baiknya pemerintahan yang baru menggunakan paradigma yang baru pula, agar tidak terjebak pada masalah yang sama sehingga kita tidak juga bisa melangkah maju. Integrasi tiga pasar utama (barang/jasa, tenaga kerja dan finansial) sudah tidak bisa dielakkan lagi, sehingga regulasi yang mengatur ketiganya tidak bisa lagi mengabaikan kondisi pasar yang satu dengan yang lainnya.
Fleksibilitas pada satu pilar pasar, pastilah membutuhkan kelenturan di pasar yang lain. Tetapi rumus dasarnya tetap sama, kelenturan dan liberalisasi yang merajalela tanpa ada tata kelola, hanya akan menghantarkan kita pada satu krisis ke krisis yang lain. Tata kelola adalah prasyarat yang tidak bisa ditawar oleh pemerintahan baru ini, entah siapapun anggota kabinetnya.

Sunday, June 1, 2008

Doa hari ini


“Pada-Mu, TUHAN, aku berlindung, janganlah sekali-kali aku mendapat malu. Luputkanlah aku oleh karena keadilan-Mu, sendengkanlah telinga-Mu kepadaku, bersegeralah melepaskan aku! Jadilah bagiku gunung batu tempat perlindungan, kubu pertahanan untuk menyelamatkan aku! Sebab Engkau bukit batuku dan pertahananku, dan oleh karena nama-Mu Engkau akan menuntun dan membimbing aku”(Mzm31:2-4)

Sunday, April 27, 2008

Hari Migu

Iadaa dua wulu mbawa si öfa ndröfi dua ribu walu, moroi me ahulö irugi boni ndra, löna u ila haya nialui gu, oya halöwö, simane manasa nukha, mamejini nahia wemöro, mondi, aefadaö, ufuli u folemba komputergu, u bokai email, naso jura soguna. Aefa daö u faamöi komputer nawögu......., aefa daö meido mana, ba ufuli mei ba DC Mall, mani CD Driver, aefa daö, ulaö instrahat ba nomo.........., ba bongi daa ufuli u sura zambua sura ba li niha..........................



heeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee................eeeeeeeeeeeeeeeeeee

Friday, April 4, 2008

DeepFreeze

Membuka Komputer yang Terprotek Software “DeepFreeze” (Hack DeepFreeze)
Ditulis pada Rabu, 7 Februari 2007 oleh Fauzan
Ini kejadian yang aku alami waktu menjadi admin. Untuk melindungi komputer dari tangan-tangan jahil, agar settingnya tidak berubah akhirnya saya kunci semua komputer dg program “Deep Freeze” (cukup membantu memang). Pada suatu waktu saya mau menginstall software baru, tapi….. saya lupa password untuk membuka program “Deep Freeze” tersebut, mau install semua komputer dari awal kelamaan. Akhirnya dapat pemecahannya untuk membuka program tersebut tanpa perlu tau passwordnya.
Caranya sbb :
Download dulu software “unfreezer” untuk membobol program “DeepFreeze” di http://newsoftwarelist.com/utilities/deep-freeze-unfreezer/
Terus jalankan program “UnFreezer”, program tersebut akan mendeteksi dg otomatis apakah ada program “DeepFreeze” apa tidak
Lalu tinggal pilih anda mau membuka proteksi komputer tersebut dg memilih “Thawed” ato tidak.
Klo udah restart komputernya (udah kebuka DeepFreeze nya… :D)
Semoga pengalaman ini bisa membantu teman2 yang komputernya terDeepFreeze. Memalukan …!!? masak admin sampe upa passwordnya
note : Jangan d gunakan untuk berbuat jahil ya ….. !!!

Friday, March 28, 2008

Mahasiswa apolitis mudah dibodohi

Diskusi UNAS: Mahasiswa apolitis mudah dibodohi

Perspektif Online
05 December 2007

Perspektif Baru di Universitas Nasional


Tak Kenal Maka Tak Sayang

Oleh Dewi Noviana, Perspektif Online

Di tengah rintik hujan yang mengguyur Jakarta sejak semalam, Wimar Witoelar masuk ke ruang Aula Universitas Nasional (Unas) yang terletak di daerah Pejaten. Ia menyusul Syamsuddin Haris, peneliuti L:IPI, yang menjadi salah satu narasumber dalam Talkshow Perspektif Baru yang mengangkat tema Demokrasi dan Pluralisme: Presiden Alternatif di Mata Mahasiswa. Tak lama, tepat pukul 14.00 Yenny Wahid, Sekjen PKB, pun tiba. Acara dibuka oleh Pudek III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas Drs. Amrul Natalsa Sitompul, M.Si.


Kapasitas Aula Unas yang dapat menampung lebih kurang 300 orang, padat dipenuhi oleh para mahasiswa dari berbagai jurusan, bahkan ada dosen yang mengalihkan kegiatan perkuliahannya ke talkshow itu. Selain itu tak ketinggalan segelintir orang umum yang tertarik untuk mengikuti acara itu. Tak selang berapa lama setelah acara dibuka, mahasiswa FISIP Unas langsung menyerang Yenny Wahid. Lisa sang mahasiswa mencurigai ada niat buruk dibalik kedatangan Yenny ke Unas. Sangkaan Lisa dibalas Yenny dengan kepala dingin bahwa memang dewasa ini rakyat tidak mempercayai politik karena aktor-aktor politik yang berdiri di belakang parpolnya, tetapi Yenny menegaskan bahwa kedatangannya kali ini tidak ada sangkut-pautnya dengan kampanye politik. WW sebagai pihak pengundang merasa tidak enak dengan Yenny sehingga dia merasa perlu untuk menegaskan maksud kedatangan Yenny. Maksud Perspektif Baru adalah menampilkan seorang analis (Syamsudin Haris) dan seorang pelaku (Yenny Wahid) agar pembicaraan mengenai pemilihan presiden mengandung substansi.

Menurutnya bagus mengundang politikus, sebab kita perlu juga mendengar orang yang kita tidak sukai. . Lain kali boleh mengundang politikus lain. Bahkan, bagus kalau diundang semauanya bergantian, nanti lihat siapa yang mau berdialog dengan publik dan siapa yang tidak. Syamsudin Haris menambahkan bahwa mahasiswa tidak perlu takut bertemu politikus, masa sih, didatangin sekali dua kali saja merasa akan dikuasai pikirannya? Menurut WW kalaupun ada yang mau berkampanye, yang terlihat lebih siap adalah dia sendiri, yang selain sebagai pimpinan diskusi, teman-temannya juga berjualan kaos gambar dirinya dengan aneka warna ceria yang mewakili karakter dirinya.

foto lengkap ada di flickr

Komentar Lisa disusul dua mahasiswa lainnya, Rizki dan Ratnasari, dan talkshow mulai kelihatan alur ceritanya untuk membahas sosok presiden alternatif yang diingini oleh kaum muda. Menurut Nur Sailan sorang mahasiswa FISIP, presiden yang diinginkan oleh anak muda adalah orang yang dari segi umur memang muda, bukan hanya ’generasi maghrib’ yang terus menguasai dunia perpolitikan di Indonesia. Dia menginginkan orang muda tak hanya jadi pendorong mobil tetapi juga mampu duduk di kursi pengemudi.

WW merasa tidak penting muda atau tua, seperti ditulis dalam Seputar Indonesia, yang penting oke orangnya. Syamsuddin Haris, peneliti LIPI mengungkapkan bahwa orang muda janganlah apolitis karena akan mudah untuk dibodohi. Kata WW, seperti menonton film, kita harus tahu dan mengerti jalan ceritanya dulu, baru bisa mengomentarinya.

Yenny mengakui mengundang orang-orang 'baik' untuk ikut dalam dunia politik Dirinya pun sempat mengalami kebimbangan pada awalnya untuk terjun ke dunia politik, tetapi akhirnya dia sadar bahwa untuk memperbaiki sistem politik yang bobrok dibutuhkan orang-orang yang mau melakukan pendobrakan. Dengan adanya kekuatan demokrasi yang memungkinkan semua warga negara Indonesia untuk memilih presiden pilihannya, terbuka kesempatan bagi kita untuk berbondong-bondong menjagokan calon kita. Kalau kita punya calon di luar partai, calon independen yang kita ajukan pun harus memenuhi kriteria sebagai pemimpin masa depan.

WW menegaskan bahwa sosok pemimpin ideal di masa depan adalah orang yang peka, mengerti dan mampu mengolah isu yang terjadi di negaranya. Jangan hanya orang yang memiliki kekuatan pendukungnya, tetapi haruslah orang yang demokratis. Untuk itulah diperlukan seleksi jua untuk para calon presiden. Kita tak hanya menyukainya secara subyektif, tetapi harus juga melihat sisi objektif kemampuannya. Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang.

Monday, March 24, 2008

Gie, Soe Hok Gie

Ketika Mira Lesmana dan Riri Riza menggarap film Gie, Soe Hok Gie, sudah 36 tahun terlelap dalam tidur abadinya. Buku hariannya Catatan Harian Seorang Demonstran sudah 10 tahun menghilang dari toko buku.

Wajar saja jika pertanyaan “Siapa Soe Hok Gie? akan dijawab orang berbeda-beda. Di mata mahasiswa ia adalah seorang demonstran tahun 60-an. Namun di mata pecinta alam dia adalah anak Mapala UI (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia) yang tewas di Semeru tahun 1969.

MELAMUN DI ATAS GENTING
“Gila! Umur 14 tahun dia sudah baca bukunya Gandhi, Tagore (Rabindranath Tagore, filsuf India-Red). Saya mungkin perlu waktu 10 tahun untuk bisa mengejar, puji Nicholas Saputra tentang Gie.

“Saya sering mendapatinya asyik membaca di bangku panjang dekat dapur, kenang kakaknya, sosiolog Arief Budiman yang kini menetap di Australia. Kakak perempuannya Dien Pranata punya kenangan berbeda. Ketika anak-anak sebayanya asyik mengejar layangan, Gie malah nongkrong di atap genting rumah. “Matanya menerawang jauh, seperti mencoba menyelami buku-buku yang dibacanya.

Selain membaca, Gie juga suka menulis buku harian. Sejak usia 15 tahun, setiap hari, ia menulis apa saja yang dialaminya. Catatan harian pertamanya bertanggal 4 Maret 1957, ketika ia masih duduk di kelas 2 SMP Stada. Catatan terakhir bertanggal 10 Desember 1969, hanya seminggu sebelum kematiannya.

BERANI MENGKRITIK

Di zaman Gie, kampus menjadi ajang pertarungan kaum intelektual yang menentang atau mendukung pemerintahan Bung Karno. Sepanjang 1966-1969 Gie berperan aktif dalam berbagai demonstrasi. Uniknya ia tak pernah menjadi anggota KAMI, organisasi yang menjadi lokomotif politik angkatan 66.

Gie lebih banyak berjuang lewat tulisan. Kritiknya pada Orde Lama dan Presiden Soekarno digelar terbuka lewat diskusi maupun tulisan di media masa. Ketika pemerintahan Soekarno ditumbangkan gerakan mahasiswa Angkatan 66, Gie memilih menyepi ke puncak-puncak gunung ketimbang menjadi anggota DPR-GR.

Sebagai anak muda, walaupun suka mengkritik dan doyan menyendiri, Gie ternyata sangat “gaul. “Penampilannya, biasa aja. Tapi kenalannya orang berpangkat dan nama-nama beken. Saya tahu, karena sering ikut dia. Misalnya saat ambil honor tulisan di Kompas atau Sinar Harapan. Nggak terbayang dia bisa kenalan dengan penyair Taufik Ismail dan Goenawan Mohamad! “, kata Badil.

TEWAS DI PUNCAK SEMERU
“Saya selalu ingat kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol, pamit, sebelum ke Semeru, begitu penggalan catatan harian Gie, Senin, 8 Desember 1969. Seminggu setelah itu, ia bersama Anton Wiyana, A. Rahman, Freddy Lasut, Idhan Lubis, Herman Lantang, Rudy Badil, Aristides Katoppo berangkat ke Gunung Semeru.

Siapa mengira, itulah terakhir kalinya mereka mendaki bersama Gie. Tanggal 16 Desember 1969, sehari sebelum ulangtahunnya ke 27 Gie dan Idhan Lubis tewas saat turun dari puncak karena menghirup uap beracun. Herman Lantang yang berada di dekat Gie saat kejadian melihat Gie dan Idhan kejang-kejang, berteriak dan mengamuk. Herman sempat mencoba menolong dengan napas buatan, tapi gagal.

Musibah kematian Gie di puncak Semeru sempat membuat teman-temannya bingung mencari alat transportasi untuk membawa jenazah Gie ke Jakarta. Tiba-tiba sebuah pesawat Antonov milik AURI mendarat di Malang. Pesawat itu sedang berpatroli rutin di Laut Selatan Jawa, Begitu mendengar kabar kematian Gie, Menteri Perhubungan saat itu Frans Seda memerintahkan pesawat berbelok ke Malang. “Saat jenasah masuk ke pesawat, seluruh awak kabin memberi penghormatan militer. Mereka kenal Gie!, kata Badil.

Jenasah Gie semula dimakamkan di Menteng Pulo. Namun pada 24 Desember 1969, dia dipindahkan ke Pekuburan Kober Tanah Abang agar dekat dengan kediaman ibunya. Dua tahun kemudian, kuburannya kena gusur proyek pembangunan prasasti. Keluarga dan teman-temannya, memutuskan menumbuk sisa-sisa tulang belulang Gie.

“Serbuknya kami tebar di antara bunga-bunga Edelweiss di lembah Mandalawangi di Puncak Pangrango. Di tempat itu Gie biasa merenung seperti patung, kata Rudy Badil.

Thursday, March 6, 2008

Rapor Merah Untuk Dosen Kita

Ditulis oleh Harry Simbolon di/pada Nopember 6, 2007

Menempatkan dosen sebagai seorang yang superior adalah kesalahan besar. Dosen dan mahasiswa pada hakekatnya adalah sama, hanya ilmu yang lebih dulu diterima yang membedakannya.

TIGA kampus telah menjadi tempatku melalui pendidikan formal, belum lagi kampus-kampus lainnnya yang hanya sekedar mengikuti seminar, atau kegiatan mahasiswa lainnya. Demikian juga hasil diskusi dengan teman-teman dari seluruh indonesia maupun dari luar negeri mengenai kondisi kampusnya masing-masing. Pengalaman ini membuat saya secara tidak langsung melakukan studi empiris mengenai kondisi pendidikan di negeri kita tercinta ini.

Indonesia adalah negeri yang cerdas, kaya alam, dan ilmu pengetahuan. Banyak mendali olimpiade sains yang telah diboyong pelajar-pelajar indonesia, belum lagi kompetisi mahasiswa tingkat internasional yang mengharumkan nama bangsa, banyak juga orang indonesia yang mengajar baik sebagai dosen tetap, profesor peneliti, maupun dosen tamu di negara-negara maju apalagi yang menjadi profesional dan pengusaha sukses di negara-negara yang kata orang negara maju itu. Hanya nobel sains saja yang belum pernah singgah di Indonesia (perkiraan Yohanes Surya, kalau para pemenang olimpiade itu terus focus pada kajian ilmunya maka tahun 2020-an Nobel sains sudah mulai berdatangan ke Indonesia). Itu semua menandakan bahwa Indonesia adalah ladangnya orang cerdas.

Namun jika kecerdasan pada contoh diatas itu kita korelasikan dengan kemajuan bangsa, sepertinya hanya sedikit sekali kaitannya. Hal ini mengindikasikan bahwa 1) pendidikan belum cukup merata, hanya dimiliki sebagian penduduk yang mampu saja. 2) atau mungkin disebabakan oleh sistem pengajaran yang kurang tepat. 3) atau jangan-jangan pendidikan tidak sesuai dengan dunia industri di Indonesia, atau malah 4) memang KKN yang menjadi biang keladinya.

Penulis tertarik mengulas masalah kedua diatas. Letak perbedaan setiap sekolah dan universitas adalah pada sistem pengajarannya. Meski buku, jurnal, dan laboratorium yang digunkana sama diseluruh perguruan tinggi. Namun sistem pengajaran menjadi ciri khas tersendiri pada setiap universitas.

Ketika saya diterima di Universitas Lampung, disatu sisi saya menilai bahwa Unila bukanlah salah satu dari universitas ternama di Indonesia sehingga saya ogah-ogahan menerima kesempatan ini, namun disisi lain saya juga berfikir bahwa buku-buku yang digunakan toh juga sama dengan universitas ternama lainnya, juga banyak dosen-dosen Unila yang lulus dari Universitas yang sama dengan dosen-dosen UI atau UGM. Hal itulah yang membuat saya tetap bertahan di Unila sampai mendapatkan gelar sarjana. Mendapatakan kesempatan pertukaran mahasiswa ke UGM dan melanjutkan pendidikan Master di Unpad membuat pola pikir saya berubah drastis, bahwa meski materi kuliah kami sama namun di UGM mahasiswa lebih terpacu belajar. Apakah ini disebabkan karena input mahasiswa yang belajar disana memang sudah unggulan? Ternyata tidak juga. Satu semester di UGM saya banyak tahu kualitas mahasiswa disana, meski rata-rata cerdas namun ada juga mahasiswa UGM yang mencontek padaku. Ternyata lulusan Unila ini ga bodoh-bodoh amat kok.

Saya banyak menyoroti pola belajar mengajar yang diterapkan disana yang kemudian langsung saya bandingkan dengan kampus saya dan beberapa kampus luar jawa lainnya. Open Minded Dosen UGM itulah yang patut saya acungkan jempol. Ketika dosen bukan menjadi orang yang paling tahu diterapkan di kampus maka diskusi hangatpun pasti bermunculan di setaiap kelas. Tugas dosen hanya mengarahkan agar diskusi pengetahuan berjalan sesuai dengan jalurnya. Bahkan tidak segan dosen bertanya kepada mahasiswanya ketika dia tidak tahu. Minggu lalu saya dan seluruh teman sekelas saya di perkuliahan pasca sarjana kesal sekali pada salah satu dosen, ketika dia melontarkan pertanyaan kecil dengan nada sombongnya meminta tanggapan dari mahasiswa, tak satupun mahasiswa mau mengomentari karena memang sangat membosankan, ketika dia terus berulang kali memaksa maka bermunculan satu dua tanggapan yang semuanya disalahkannya. Tidak ada jawaban yang benar menurutnya. Kebenaran mutlak hanyalah berdasarkan pemahamannya saja. Saya tidak habis pikir bila semua dosen di Indonesia bertype seperti ini.

Dosen yang memberikan nomor handpone dan alamat lengkap jarang sekali kita jumpai di Indonesia ini, mereka terlalu sibuk dengan bisnis mereka sampai lupa status dasar mereka adalah dosen, padahal mahasiswa membutuhkan nomor telepon itu hanya sekedar untuk konsultasi skripsinya. namun tidak demikian halnya dengan dosen di UGM. Satu lagi yang saya catat adalah penerapan toleransi absensi mengajar pada dosen adalah 0 kali. Artinya dosen harus masuk 100%. Tidak sebanding dengan mahasiswa yang diberikan toleransi 3 kali pertemuan absen. Pertanyaan saya kemudian timbul: Dosen yang sudah banyak menjadi konsultan nasional bahkan menjadi pejabat di banyak BUMN dan institusi pemerintahan pusat masih sempat meluangkan waktu mengajar meski jarak Jakarta - Yogya cukup jauh. Jawabannya adalah pengabdian dan integritas. Kenapa hanya di UGM? Berbeda halnya dengan UI yang tetap mengajar tetapi mengutus asistennya saja. Ya, pastilah ilmu yang didapat adalah ilmu si asisten bukan ilmu si profesor/doktor yang sibuk mengurusi bisnis di luar kampusnya itu.

Menempatkan dosen sebagai seorang yang superior adalah kesalahan besar. Dosen dan mahasiswa pada hakekatnya adalah sama, hanya ilmu yang lebih dulu diterima yang membedakannya. Coba lakukan test IQ, apakah lantas para dosen memiliki IQ yang lebih tinggi dari mahasiswa? Tidak, kecerdasan adalah bawaan lahir dan tergantung kita mengolahnya selama kita hidup. Bill Gates Drop Out dari kampusnya, Megawati hanya tamat SMA, Einsten malah tinggal kelas terus. Apakah mereka bodoh? Orang yang terlahir bodohpun bisa cerdas ketika dia punya kemauan keras untuk belajar.

Pola belajar mengajar Negeri ini yang perlu di Ubah. Pembelajaran tidak melulu menggunakan pendekatan akademis dimana dosen menularkan ilmunya dan kemudian menguji yang telah di berikannya itu, sehingga mahasiswa terdikte untuk menghafal. Itu salah besar. Dosen bukanlah orang yang paling tahu. Selayaknya Pengajaran sekarang memadukan pendekatan Akademis dengan pendekatan Psikologis. Dosen/Guru harus mengerti Psikologi, membuat kelas menarik dan mengerti apa maunya mahasiswa. Betapa terkejutnya saya ketika ada seorang dosen S1 di UGM yang baru pulang S3 dari Amerika, dengan mengunakan celana jeans dan sepatu olahraga sambil menenteng sebuah buku saja mengatakan kalimat ini pada pertemuan pertama: “Selamat pagi teman-teman, anggap saya ini kakak kalian ya. Adik pasti sering tidak sependapat dengan kakaknya. itu akan sering kita jumpai di kelas ini nanti. Kelas kita akan penuh dengan diskusi hangat. Ini no telepon saya, ini alamat rumah saya, silahkan telepon atau datang ke rumah jika ingin berdiskusi lebih jauh, saya memberikan porsi penilaian 50% dari keaktifan di kelas, jadi baca buku yang banyak, kuasai bahan.”. Bandingkan dengan beberapa dosen universitas lainnya atau bahkan di pendidikan master sekarang ini yang malah lebih fokus pada absensi, yang penting datang terus pasti dapat nilai. Begitu juga dengan pakaian yang harus selalu rapi. Datang tepat waktu, kalau terlambat lima menit tidak boleh masuk, dan lain sebaginya.

Memang benar pendidikan selain memberikan pendidikan Ilmu, tetapi juga memberikan pendidikan moral. Tapi jangan salah kaprah. Mahasiswa di Perguruan Tinggi telah mengalami Kristalisasi nilai. Mahasiswa telah mengenal apa yang baik maupun yang buruk berdasarkan alam berpikirnya. Tidak harus kita paksakan dia begini, atau begitu, tetapi kita hanya mengarahkan saja. Maka tidak sedikit kita lihat mahasiswa berubah drastis menjadi pemikir, korektif, agretor, dlsb setelah mereka mengalami kristalisasi nilai itu. Maka sekali lagi saya katakan bahawa Dosen bukanlah orang yang paling tahu.

Mari kita belajar ke UGM, atau universitas ternama lainnya di Amerika yang mendidik dengan bersahabat. Mahasiswa adalah aset suatu perguruan tinggi, tanpa mahasiswa maka tidak mungkin ada dosen, atau tidak mungkin bisa menggaji staf dan pejabat kampus. Maka dari itu Fokuslah pada pemberdayaan Mahasiswa.

Di Amerika setiap tahun ada penilaian dosen terbaik melalui pendekatan pengajaran, Setiap dosen berpacu menggunakan pola belajar yang dianggapnya tepat buat mahasiswanya, sehingga tidak jarang kita jumpai sakin akrabnya dosen dengan mahasiswa akhirnya mereka menjadi keluarga. Contoh sederhananya saja coba bandingkan text book Aamerika dengan buku Indonesia pasti berbeda sekali. Di awal buku - buku buatan Amerika dijelaskan cara belajar yang tepat menggunakan buku itu, dengan pola yang terstruktur dan jelas. Beda dengan buku Indonesia yang habis sampul, kata pengantar dari penulis langsung isi. Apa karena takut bukunya dibajak?

Saya sangat prihatin sekali dengan teman-teman saya di Sumatera Utara dan beberapa universitas lainnya yang dengan susah payah menyelesaikan studinya hanya karena faktor dosen. Bagaimana dosen dengan egoisnya memaksa mahasiswanya ini dan itu, minta ini dan itu, sehingga secara tidak langsung yang menyusun skripsi adalah si dosen yang bersangkutan, karena maunya dosenlah skripsi itu. Bahkan dosen seperti selebritis yang dikejar-kejar mahasiswa dan ketika bertemu mengatakan no komet, lagi sibuk nih, di panggil Gubernur, DPRD untuk menysusun angaran, mau shooting nih.. Belum lagi kasus nilai tembak, Nilai suap, atau nilai berdasarkan kenalan saja. Sehingga nilai diperoleh dengan faktor subjektifitas. Beginilah wajah pendidikan nasional kita.

Dapatkah di rubah? Tentu bisa, jika pemerintah tidak mampu melakukannya karena takut dengan kepentingan elit, mari kita mulai dari sekarang, dari diri kita sendiri, ketika kita mahasiswa aktiflah di kelas, kalau bisa seaktif mungkin sehingga mau tak mau dosenpun mau tidak mau harus persiapan sebelumnya. Jika kita dosen pahamilah bahwa tanpa mahasiswa kita tidak bakalan dipekerjakan. Bila kita pejabat, berpikirlah mau kita apakah bangsa ini kelak jika pendidikan kita masih seperti ini.

“Dicari dosen yang mau mengajar dengan senang hati”


Sumber http://harrysimbolon.wordpress.com/2007/11/06/cara-mengajar-dosen-kita-masih-kuno/

Friday, January 11, 2008

NIAS ISLAND
Nias Island lies about 125 km of west Sumatra Island on the Indian Ocean. It is part of North Sumatra Province. The water surround the island is great for sea activities, such as surfing and scuba diving. The people also have curious culture, which will enrich visitor's heart. The island has some prehistoric remains, which built on megalithic Stone Age, and considered came from the oldest megalithic culture in Indonesia.
The local call their land as Tano Niha or "land of the People", while the people calls them selves as Ono Noha. Ethnically, the Niasers are involved in to the Ptoto-Malay ethnic who once ever get with the Asian Proto-mongoloid world. Niasers speak a kind of language related to Malagasy. Because of the similarity in languages, custom, body size of the Niasers with the Bataks on Sumatra mainland, it is possible that the Niasers have derived from the Bataks.

Surfers will call this island "Paradise on Earth". Together with its beautiful white sandy beach, Lagundri Bay challenge surfers with spectacular waves. In the high season, the waves told to be as high as 3.5 meters. The waves of Sorake Beach on Lagundri Bay have ranked to be within the best ten waves of the world. It is true if some surfers referred of Sorake Beach waves as "the most notorious right-band reef breaks". There are events held for surfers, including the World Professionals Qualifying Series. Surfers are better being ready when your heart cannot leave this island after a visit.
Enormous breakers pummel of Nias Island attracting the best surfers in the world to Lagundri Beach. The unforgiving power attacking the shore seems to have bred the same qualities in the people, whose militaristic culture has fascinated anthropologists for decades. This island lies off West Sumatra in the Indian Ocean. Bawomataluo and Hilisimae villages are curious places to visit, where visitors can see performances of traditional war dances and thrilling high- jump sports, i.e. people making dangerous leaps over 2 meter-high stones. Typical scenes are dancers clad in traditional costumes with bird feathers on their heads, a hall for the Chief-of Tribe built on wooden logs with stone chairs weighing up to 18 tons. There are daily flights from Medan to Nias Island.To reach this place, there is weekly ship from Jakarta (the capital city of Indonesia) to Gunung Sitoli; There are Ferries from Sibolga to Gunung Sitoli, Teluk Dalam, or Lahewa every day; Before the crisis hit Indonesia, there is daily flight from Medan to Gunung Sitoli, however it is less frequent nowadays. Gunung Sitoli is the capital city of Nias and it is the center of administration and business affairs of regency. There are several travel agencies hotels, public busses and rental cars to support tourism here. There are also some government and private banks available.
GeographicallyNias Island lies on 10 30' north latitude and 970 98' east longitudes. It covers of 5,625 km2 areas, which is mostly lowland area of ± 800 m above sea level.
PopulationIt is the biggest in a group of islands on Sumatra side that is part of North Sumatra province. This area consists of 131 islands and Nias Island is the biggest. The population in this area is about 639,675 people (including Malay, Batak, and Chinese). Nias has a very unique culture and nature, which is far different from other areas in North Sumatra. This is because of its separate and remote location from the rest of Sumatra.

Yaahowu ( greetings from Nias )