Thursday, August 13, 2009

Visit Indonesia 2009

TANGAN PEMIMPIN

Tangan adalah salah satu organ tubuh manusia yang paling sering dilibatkan dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. Mulai menggosok gigi, menyisir rambut, menyabuni tubuh, mengangkat, menulis, mengetik, menyalami, melambai, membelai, memijat, menggendong, memutar kunci, menggergaji, meng-klik ikon-ikon di keyboard, memetik gitar, menekan tuts piano, bertepuk, memukul, mencangkul, memotong, mencabut, dan banyak lagi yang lainnya. Bahkan “tanda tangan” dijadikan penanda yang nyaris disetarakan dengan sidik jari untuk menyatakan keunikan personal. Singkatnya, secara umum dapat dikatakan bahwa dengan tangannya manusia mengerjakan banyak pekerjaan untuk menyatakan kehadirannya sebagai manusia.
Secara simbolik kita dapat bertanya apakah yang dikerjakan oleh “tangan” seseorang yang menandakan bahwa ia layak kita sebut pemimpin? Hemat saya, pekerjaan pemimpin mungkin bisa diringkas menjadi mengerjakan sejumlah pekerjaan yang membuat masing-masing konstituen mengerjakan apa yang seharusnya mereka kerjakan untuk menciptakan suatu kehidupan bersama yang secara mendasar lebih baik di masa depan. Pemimpin tidak mengerjakan “semua hal” secara langsung, sebab itu memang tidak mungkin. Pemimpin ”hanya” mengerjakan pekerjaan tertentu, yakni pekerjaan yang hanya dilakukan oleh mereka yang memiliki kapasitas untuk memimpin. Nah, apakah pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki kapasitas sebagai pemimpin?
Sudah berulangkali saya tegaskan bahwa pekerjaan utama seorang pemimpin adalah melayani konstituennya (mulai dari anggota keluarga, pegawai, sampai warga negara), yang aktual maupun yang potensial. Pernyataan pemimpin sebagai “pemegang amanah” selaras dengan hal ini. Ia melayani bukan agar dilayani, melainkan agar konstituen yang dilayaninya dapat melayani kepentingan mereka sendiri sekaligus kepentingan masyarakat yang lebih luas. Dengan kata lain pekerjaan pemimpin itu adalah memprakarsai, memulai, mengambil inisiatif pelayanan atas dasar rasa tanggung jawab dan kepedulian yang tulus ikhlas untuk merintis perubahan organisasi dan masyarakat ke arah yang lebih baik. Ibarat bola salju, pemimpin memulai tindakan dengan “merendahkan dirinya” agar “menggelinding” dari puncak gunung salju (baca: jabatan formal kepemimpinan), merengkuh tiap bongkah salju yang dapat diraihnya, dan terus meluncur ke bawah, semakin lama semakin besar, sampai cukup besar untuk melindas setiap pohon (baca: hambatan) yang merintangi jalannya. Atau ibarat pemimpin orkestra yang memulai pertunjukkan dengan memberi aba-aba kepada kelompok pemusik yang satu, lalu mengundang kelompok pemusik lainnya, dan seterusnya, sampai sebuah simfoni yang indah bergema menjangkau audiens yang menonton pertunjukannya.
Dengan pemahaman yang demikian saya terpesona mendengarkan berbagai cerita (dan menyaksikan sebagian dari proses) perintisan pelayanan sosial kemasyarakatan yang dilakukan oleh suster-suster Sarekat Putri Kasih (The Daugther of Charity) di Kediri. Dalam kesempatan berbincang dengan Sr. Anna Wiwiek Supraptiwi, pejabat Provinsial Puteri Kasih Indonesia, saya mencari tahu bagaimana mereka memulai berbagai aktivitas pelayanannya, terutama dalam melayani orang-orang jompo, anak-anak loper koran, dan para yatim piatu. Dan kemudian saya menyadari bahwa apa yang dilakukan oleh para suster yang berpenampilan amat sederhana itu adalah pekerjaan yang hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang telah mengembangkan kapasitas kepemimpinan dalam dirinya.
Sebagai contoh, mereka saat ini mempunyai Panti Wreda St. Josep, yang didirikan sekitar tahun 1962. Pendirian panti yang satu ini bermula dari hal yang sederhana. Beberapa suster melihat seorang nenek yang yang terlunta-lunta di jalanan dan setelah diperhatikan tidak ada sanak keluarga yang mengurusnya. Karena belas kasihan, mereka membawa nenek ini ke susteran. Lalu satu per satu orang jompo yang terlunta-lunta di jalanan (sebagian dianggap gila oleh masyarakat setempat) diajak hidup bersama para suster itu, sampai jadilah sebuah Panti Wreda.
Contoh lain hampir setali tiga uang. Pada suatu pagi, dalam perjalanan pulang dari rumah ibadah, beberapa suster melihat satu-dua orang anak kecil berdagang koran di perempatan lampu merah. Ini bukan pemandangan yang biasa di Kediri waktu itu. Anak-anak ini didekati, lalu ditanya sudah sarapan belum. Ternyata mereka tidak pernah sarapan pagi. Lalu sang suster mengundang anak-anak ini mampir ke susteran bila ingin sarapan. Anak-anak yang belum terbiasa diperlakukan seperti itu tak memberikan tanggapan. Baru dua-tiga hari kemudian dua orang anak mampir ke susteran “menagih janji” untuk diberikan sarapan. Mereka pun dilayani dengan baik. Esoknya datang lagi, dan makin hari makin bertambah jumlahnya. Akhirnya didirikan rumah singgah khusus untuk anak-anak loper koran ini. Di rumah singgah itu anak-anak tidak saja mendapatkan sarapan pagi, tetapi juga didampingi mengerjakan tugas-tugas pelajaran sekolah dan sebagainya.
Pelayanan yang agak khusus adalah melayani para pengungsi di Sampang, Madura. Sejumlah suster berangkat dari Kediri untuk tinggal bersama para pengungsi dan membantu kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Mereka dibantu para relawan kemanusiaan yang tergerak hatinya ––sebagian adalah kaum muda NU–– untuk meringankan penderitaan pengungsi akibat perselisihan etnis di Kalimantan (Dayak versus Madura) beberapa waktu lalu. Hal yang sama mereka pernah lakukan di Papua dan (dulu) di Timor Loro Sae (Timtim). Sambil berseloroh para suster itu berkata, “kalau ada bencana di suatu daerah, kami langsung kebagian pekerjaan”.
Para suster Sarekat Puteri Kasih memang telah terbiasa untuk “melayani kemiskinan dan penderitaan di depan mata”. Ini telah dimulai sejak tahun 1633 di Paris, Perancis. Sarekat ini didirikan oleh St. Vincensius A. Paulo dan St. Louisa de Mirillac, dan menjadi sarekat yang unik karena mempekerjakan biarawati di luar tembok-tembok biara. Pada masa revolusi Perancis, para Puteri Kasih ini menolong banyak orang miskin yang menderita di sana. Lalu sejak 1931, lewat jaringan Puter Kasih dari Belanda, mereka datang ke Indonesia. Mulanya di Surabaya, namun kemudian berpusat di Kediri.
Di luar Sarekat Puteri Kasih, saya juga terpesona menyaksikan upaya para penerima Yap Thiam Hien Award, mulai dari Haji Muhidin, Jhony Simanjuntak, dan HCJ Princen (1992), sampai Ester Jusuf Purba dan Suraiya Kamaruzzaman (2001). Mereka semua adalah perintis, pemrakarsa, yang memulai suatu pelayanan, khususnya kepada kaum yang terpinggirkan. Tina di sekitar Senen, dan Mona di kawasan Kramat, adalah contoh lain dari kaum sarjana “populis” yang melayani anak-anak dan orang-orang miskin di Jakarta (Kompas, 24/12/01). Almarhum Romo Mangun di Kali Code dan Kedung Ombo, mendiang Solagratia S. Lumy dengan Kampus Diakonia Modern-nya, dan Wardah Hafidz yang memilih menjadi sahabat para tukang becak di Ibu Kota, adalah nama-nama lain yang juga memberikan pelajaran kepada kita tentang “pekerjaan tangan” seorang pemimpin.
Bila kita dapat menerima bahwa seseorang menjadi pemimpin dengan mengerjakan pekerjaan seorang pemimpin (the work of a leader), terlepas dari apakah ia diberi jabatan formal kepemimpinan atau tidak, maka semua orang yang saya sebutkan diatas adalah pemimpin. Bahkan lebih dari itu. Sesungguhnya potensi kepemimpinan ada dalam diri setiap orang (Harefa: Berguru pada Matahari, Gramedia, 1998). Sebab tiap orang sesungguhnya memiliki peluang untuk memulai, memprakarsai, menerima tanggung jawab untuk mengambil inisiatif dalam memulai tindakan sederhana (melayani sesamanya dalam skala dan kapasitas yang sesuai dengan dirinya) untuk menciptakan organisasi dan masyarakat yang lebih baik. Ada begitu banyak “pekerjaan” yang menanti untuk dikerjakan di negeri ini, dan semua itu ada “di depan mata”.
Masalahnya, dalam masyarakat kita kepemimpinan pertama-tama lebih dimengerti sebagai sebuah “jabatan” dan bukan sebuah “pekerjaan”. Ada begitu banyak orang yang sibuk berburu “jabatan”, tetapi malas bekerja apalagi sampai “menjadi pelayan” (being a servant). Banyak orang enggan mengambil inisiatif, memprakarsai suatu perbuatan baik, jika ia tidak melihat ada kemungkinan memperoleh “keuntungan” bagi dirinya sendiri (“jabatan” adalah salah satu bentuk “keuntungan” itu). Banyak orang enggan “mengotori tangannya” dengan pekerjaan yang penuh “lumpur” yang diwariskan oleh angkatan sebelumnya. Banyak orang yang lebih suka menjadi “kritikus” yang “bersih” karena tidak mengerjakan apapun.
Semua ini mungkin pertama-tama adalah masalah kurangnya kesadaran diri, dan kurangnya kepedulian sosial, atau bahkan tidak fungsionalnya hati nurani kita sebagai masyarakat bangsa. Dan akar-akar permasalahan ini boleh jadi bersumber pada mandulnya institusi-institusi formal di bidang kependidikan, kebudayaan, dan keagamaan. Jiwa status quo (anti perubahan) yang telah menyatu dengan berbagai institusi formal itu agaknya masih terlalu kokoh untuk ditumbangkan oleh gerakan reformasi yang hingga kini nampaknya masih setengah matang.
Jadi, entah berapa lama lagi kita harus menunggu lahirnya pemimpin-pemimpin baru dalam skala nasional, pemimpin-pemimpin yang mengerjakan pekerjaan sebagai seorang pemimpin, sekali pun dengan mengerjakan segudang pekerjaan itu––yang menuntut keringat dan tangan kotor––mereka tidak memperoleh “keuntungan” bagi dirinya sendiri.[]

Entrepreneurial Leadership?

Dalam sebuah diskusi di Jakarta belum lama ini, V. Winarno, Ph.D, Ketua Sekolah Tinggi Manajemen PPM, menyitir sebuah kesimpulan maha guru manajemen modern Peter Drucker. Menurut Drucker, era ekonomi yang berdasarkan manajemen telah berakhir, dan kita sekarang bergerak ke era ekonomi berdasarkan kewirausahaan. Salah satu alasan yang disebutkan adalah karena manajemen menekankan pola berpikir secara rasional agar organisasi tetap survive . Dengan demikian manajemen, yang oleh Winarno diidentikkan dengan birokrasi, ketertiban, aturan dan prosedur, tak jarang membuat organisasi lambat menjawab perubahan. Keterlambatan ini seringkali tidak memuaskan pelanggan dan pada akhirnya akan merugikan organisasi. Dalam konteks ini ekonomi yang didasarkan kewirausahaan dirasakan lebih baik, karena setiap orang diberi kesempatan untuk melakukan yang terbaik dalam waktu cepat.
Tema diskusi kala itu adalah From Entrepreneur to Intrapreneur: How to Institutionalize Creativity, Innovations, and Intrapreneurship in Your Company. Dalam tema tersebut terkesan ada harapan untuk mencari sejumlah cara agar entrepreneurship spirit dari orang perseorangan [biasanya pendiri organisasi bisnis] dapat ditularkan atau diakomodasi secara sistemik ke dalam sebuah sistem organisasi dan membentuk apa yang bisa disebut sebagai entrepreneurial organization. Untuk itu diperlukan sejumlah intrapreneur alias intra corporate entrepreneur [entrepreneur dalam organisasi]. Dan mereka yang diharapkan memainkan peranan sebagai intrapreneur ini [siapa lagi kalau bukan] para manajer, terutama di lapisan tengah. Mereka inilah yang diharapkan melakukan berbagai kegiatan entrepreneurial dalam organisasi.
Dalam diskusi tersebut, ikut hadir Marius Widyarto Wiwied, CEO PT Caladi Lima Sembilan, produsen kaos C-59 yang sudah memasuki pasar manca negara dengan merek C-Forty Nine. Ia berusaha membedakan antara manajer, entrepreneur, dan intrapreneur. Dari aspek kebebasan bertindak, manajer boleh dikatakan paling tidak bebas. Entrepreneur paling bebas, dan intrapreneur agak bebas. Ini nampak dalam hal pengambilan keputusan. Manajer harus bersetuju dengan penguasa [atasannya], menunda keputusan sampai merasa apa yang diinginkan atasannya tercapai. Entrepreneur mengikuti pandangan pribadi, mengambil keputusan dan berorientasi pada tindakan. Intrapreneur mahir mengajak orang lain menyetujui pandangannya, lebih sabar dan mau lebih berkompromi daripada seorang entrepreneur, sebab bagaimana pun intrapreneur tetap seorang pelaksana.
Laporan hasil diskusi yang dipublikasikan oleh majalah MANAJEMEN tersebut, hemat saya, menunjukkan adanya pergeseran harapan terhadap peran manajer dalam organisasi, baik organisasi bisnis maupun organisasi pemerintahan [terutama BUMN dan BHMN]. Mereka yang menduduki posisi manajerial tidak lagi diharapkan sekadar menjalankan fungsi-fungsi manajemen, karena itu saja tidak cukup untuk menopang pertumbuhan organisasi di tengah arus perubahan yang semakin cepat. Mereka juga diharapkan memainkan peranan sebagai entrepreneur dalam skala dan intensitas tertentu.
Ada sejumlah pertanyaan yang masih perlu dicari jawabannya terhadap pergeseran harapan atas peran para manajer itu. Pertama, apakah hal itu mengukuhkan sinyalemen sementara pihak mengenai matinya ilmu manajemen, atau sekadar menunjukkan bahwa manajemen tetap diperlukan, tetapi tidak cukup [necessary but insufficient]? Kedua, bagaimana dengan peran manajer sebagai pemimpin yang membuat lahirnya istilah Manager-Leader [antara lain dipergunakan oleh Andrew Tani dan kawan-kawan] atau Leader-Manager? Ketiga, jika manajer bisa dibedakan dengan entrepreneur dan intrapreneur, maka apa yang membedakan seorang entrepreneur dan intrapreneur dengan seorang leader? Keempat, apakah kita memiliki sejumlah contoh kasus untuk membuktikan bahwa kehadiran intrapreneur akan membuat organisasi berkembang ke arah innovative and creative organization? Kelima, jika kita ingin membangun sebuah entrepreneurial organization, maka apa saja prakondisi dan kondisi yang diperlukan untuk itu? Dan seterusnya.
Meski pernah memikirkan kemungkinan matinya ilmu manajemen, namun belakangan ini saya menyadari bahwa manajemen [dalam arti birokrasi, aturan dan prosedur] tetap akan diperlukan dalam batas-batas tertentu. Manajemen itu ibarat tubuh manusia yang melaksanakan berbagai aktivitas sesuai dengan arahan akal sehat dan hati nuraninya. Tubuh penting, namun bukan yang terpenting. Kegagalan paradigma manajemen terletak pada dominasinya terhadap hal-hal yang tidak bisa dimanajemeni, yakni spirit manusia. Mungkin itu sebabnya Gede Prama mengumandangkan konsep manajemen sebagai spirit. Manajemen an sich tidak lagi bisa diandalkan sepenuhnya.
Terobosan pertama yang mendobrak paradigma manajemen adalah paradigma kepemimpinan, yang mulai marak sejak akhir dekade 80-an. Jika manajemen mengurusi benda-benda [things] dan kepemimpinan bertalian dengan orang [people], maka dalam pengelolaan sebuah organisasi yang beranggotakan manusia dan memiliki aset-aset non-manusia, manakah yang harus didahulukan atau diprioritaskan? Jawaban terhadap pertanyaan ini akan menjawab pertanyaan istilah mana yang lebih tepat Manager-Leader atau Leader-Manager.
Terobosan kedua yang mendobrak paradigma manajemen adalah paradigma kewirausahaan, yang boleh dikatakan menyambut meilenium ketiga, abad ke-21. Jika paradigma kepemimpinan berusaha menggugah spirit manusia dalam organisasi, maka paradigma kewirausahaan menantang keberanian bertindak untuk menyatakan spirit tersebut dalam bentuk konkrit yang dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan [stakeholders]. Diperlukan setumpuk keberanian untuk melakukan hal-hal baru [kreatif] atau untuk melakukan sesuatu dengan cara-cara yang berbeda [inovatif].
Tidak terlalu jelas bagi saya atribut macam apa yang membedakan seorang leader dengan seorang entrepreneur. Keduanya pastilah memerlukan keberanian bertindak yang digerakkan oleh visi tertentu. Keduanya pastilah memiliki kecenderungan tidak puas dengan apa yang telah ada [status quo], sehingga berupaya melakukan perubahan dan pembaharuan. Namun jika fokus pengembangan organisasi diarahkan melalui pengembangan manusia dalam organisasi, mungkin itu lebih dekat dengan soal leadership. Sementara fokus pengembangan organisasi melalui pengembangan produk dan/atau jasa yang kreatif [baru] dan inovatif [berbeda], mungkin hal itu lebih dekat dengan entrepreneurship. Dapatkah pengembangan manusia dan pengembangan produk/jasa dalam organisasi dipisahkan secara tegas? Saya tidak tahu. Akan tetapi saya kira isu-isu organisasi akan bergerak dari leadership-management ke entrepreneurial leadership.
Jika benar bahwa kepemimpinan organisasi kini dan di masa mendatang memerlukan pola kepemimpinan yang bercorak kewirausahaan [entrepreneurial leadership], maka bagaimanakah kita membedakannya dengan kepemimpinan yang bercorak manajemen?
Pada titik ini saya kira penegasan Raymond W.Y. Kao, profesor di Nanyang Business School, Nanyang Technoligal University, Singapura, menjadi penting untuk disimak. Menurut Kao, kita harus meninggalkan paradigma bahwa sebuah korporasi adalah mesin produksi uang untuk kepentingan segelintir orang saja [yakni investor yang sibuk mempersoalkan ROI-nya]. Dan sebagai gantinya kita harus menggunakan paradigma bahwa sebuah korporasi adalah sebuah komunitas entrepreneur yang diciptakan untuk menghasilkan kesejahteraan bagi individu dan memberi nilai tambah kepada masyarakat. Dengan kata lain, peningkatan kesejahteraan individu tertentu [para investor yang segelintir itu] hanya dapat diterima sepanjang usaha mereka memberikan nilai tambah bagi masyarakat di sekitarnya. Jika peningkatan kesejahteraan individu diukur dari Return on investment [ROI], maka nilai tambah bagi masyarakat diukur dari Return on labour [ROL, share of fruit of labour], Return on resources [ROR], dan Return on environment [ROE]. Jadi, dengan pendekatan entrepreneurial leadership, sebuah organisasi, terutama organisasi bisnis, tidak boleh hanya disibukkan dengan soal-soal seberapa cepat dan seberapa besar para shareholders memperoleh ROI-nya, tetapi juga soal-soal strategis lainnya seperti ROL, ROR, dan ROE dari kegiatan usahanya.
Dalam sistem politik dan ekonomi yang masih didominasi oleh paradigma manajemen, kehadiran entrepreneurial leader agaknya menjadi kerinduan banyak pihak di negeri ini. Ia bisa diharapkan untuk mengatasi kesenjangan yang amat besar antara kelompok kaya dan kelompok miskin, sebab ia selalu concern tentang perluasan kesempatan kerja dan kelestarian lingkungan hidup dimana usahanya berlangsung. Dan mengingat studi Arie De Geus dalam The Living Company [1997], kita dapat mengatakan bahwa organisasi yang dikendalikan oleh entrepreneurial leader akan menjadi organisasi bisnis yang mampu bertahan dalam jangka panjang [ratusan tahun], karena kepedulian mereka terhadap masalah-masalah socio-ekonomi dan lingkungan hidup di sekitarnya.
Demikiankah?

Mata Pemimpin

Apakah persamaan yang dimiliki oleh tokoh-tokoh sekaliber Sir Winston Churchill, Soekarno, Mohammad Hatta, Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr, Bunda Teresa, Nelson Mandela, Kim Dae-jung, Henry Ford, Walt Disney, Jack Welch, Konosuke Matsushita, Rich DeVos–Jay Van Andel, Steve Jobs, Bill Gates, Larry Ellison, Andy Grove, Michael Dell, Jeff Bezos, dan Lou Gerstner? Sedikitnya dapat disebutkan dua hal ini: pertama, visi besar dan jelas (great-clear-bold vision); kedua, konstituen yang tulus dan antusias (willing and enthusiastic constituents). Terhadap jawaban itu dapat ditambahkan bahwa mereka sama-sama manusia yang pernah dilahirkan di muka bumi, pernah melakukan serangkaian aktivitas terencana dalam hidupnya, dan kemudian dikenal dunia sebagai negarawan, pemimpin besar, perintis dan agen perubahan, inovator-kreator, konglomerat, orang-orang terkaya, dan seterusnya.
Kita tahu bahwa “bisnis” utama para pemimpin sejati adalah visi. Mereka melakukan “survai pasar” untuk mengenai kebutuhan “konsumennya”. Mereka merancang konsep “produk dan jasa” yang akan “diproduksinya”. Mereka mempersiapkan “saluran distribusi”, melakukan “promosi”, dan merekrut “agen-agen” sampai “pengecer”. Mereka menetapkan “harga produk/jasa” dan memberikan “personal guarantee” kepada para “konsumen”. Singkatnya, mereka melakukan segala aktivitas “pemasaran” dalam arti yang seluas-luasnya untuk memastikan visi yang dirumuskannya “laris terjual” (sold).
Apakah para pemimpin visioner itu “cuma” sekadar “pemasar” saja? Tidak. Mereka juga “mengkonsumsi” sendiri visi yang dirumuskannya itu. Mereka hidup dari situ, mereka makan dan minum dari situ, mereka bernafas dari situ. Mereka menjadi “pasangan” dari visi yang dikampanyekannya. Begitulah, sejarah mengajarkan kepada kita bahwa menjadi pemimpin itu tidak mungkin, bila tanpa visi. Kepemimpinan tanpa visi itu tidak ada. Kalaupun ada, hanya seolah-olah ada, tidak sejati, tidak sungguh-sungguh ada.
Masalahnya mengapa banyak rumusan visi yang digagas oleh orang tertentu tidak “dibeli” oleh orang lain? Mengapa banyak orang yang gede rasa (ge-er), merasa memiliki visi dan menyebut dirinya pemimpin, tetapi tidak banyak (atau bahkan tidak ada sama sekali) orang-orang yang willing to follow enthusiastically? Saya tidak memiliki jawaban yang pasti. Namun studi dan perenungan saya selama tiga tahun terakhir sedikitnya menunjukkan 17 kemungkinan berikut:
visi itu tidak cukup jelas;
visi itu tidak cukup dikomunikasikan;
visi itu tidak cukup menarik perhatian;
visi itu tidak sesuai dengan harapan dan keinginan banyak orang;
visi itu tidak cukup sederhana untuk dapat diingat;
visi itu tidak cukup ambisius;
visi itu tidak cukup memotivasi;
visi itu tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut sebagian besar orang;
visi itu tidak menginspirasikan antusiasme;
visi itu, kalau tercapai, tidak memberikan rasa bangga;
visi itu tidak mampu memberi makna dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari;
visi itu tidak merefleksikan keunikan;
visi itu tidak diyakini dapat dicapai;
visi itu tidak membuat orang bersedia berkorban;
visi itu tidak “bernafas” atau tidak “hidup”;
visi itu tidak dirumuskan secara positif;
visi itu tidak dipelihara baik-baik oleh penggagasnya.
Hal di atas jelas menunjukkan bahwa visi itu bukan sekadar rumusan kata-kata indah yang puitis dan enak didengar. Bahkan visi juga bukan sekadar hasil olah pengetahuan (knowledge management), meski ia mencakup hal itu. Visi tidak mungkin diperoleh dari pelatihan (training) sebab pada hakikatnya visi bukan keterampilan. Visi harus berangkat dari hati (heart, perenungan dan proses pembelajaran), yang kemudian diberi “bingkai” oleh akal budi (ratio, pengetahuan), dan kemudian direalisasikan lewat tindakan nyata (act, agenda aksi). Dengan demikian hal ihwal tentang (apa) visi dapat diajarkan, dan bagaimana merumuskan visi dapat dilatihkan, tetapi keduanya belum cukup. Harus ditambahkan dengan faktor perenungan atau kontemplasi di peristirahatan batin (sanctuary). Dan mungkin perenungan dan kontemplasi itulah yang sangat sedikit dilakukan oleh banyak orang yang memegang jabatan kepemimpinan (formal) saat ini. Itu sebabnya kebanyakan visi pribadi, visi perusahaan, bahkan visi pemerintahan (pusat dan daerah) hanyalah sekadar basa-basi saja, asesoris penghias dinding yang meaningless (tanpa makna).
Sekali lagi “bisnis” para pemimpin sejati adalah visi. Dan visi adalah soal “penglihatan”, soal “mata”. Apa saja yang “dilihat” oleh sang pemimpin akan menjadi “bisnisnya”. Untuk itu pemimpin sejati jelas harus “melek”, matanya harus fungsional. Ini menyangkut tiga hal. Pertama, ia harus “melek” secara batin. Mata spiritualnya harus fungsional, hal mana ditandai oleh moralitas, integritas, dan karakter yang relatif tak tercela. Kedua, mata budinya juga fungsional. Ia tak pernah bosan menginvestasikan waktu, uang, dan seluruh hidupnya untuk mengejar ilmu pengetahuan, mencari informasi, mengumpulkan fakta, data, dan informasi, belajar dari sejarah tentang segala sesuatu yang menarik minat dan perhatiannya, yang dijadikannya “urusan saya juga”. Hal ini, antara lain, ditandai dengan wawasan dan pengetahuan yang membentang luas, sehingga ia acap kali dijadikan narasumber yang kredibel. Pandangan dan pendapatnya sering dijadikan acuan hidup banyak orang. Ketiga, mata inderawinya juga fungsional. Untuk mata fisik ini Helen Keller (buta tuli), Fanny Crosby (buta), Stevie Wonder (buta), dan mungkin juga Abdurrahman Wahid (agak terganggu penglihatannya) dapat disebut sebagai pengecualian yang amat sangat langka.
Dari mana kita dapat mengetahui bahwa seseorang itu melek, baik mata inderawinya, maupun terutama mata budi dan mata batinnya? Dari mana lagi kalau bukan dari kata-kata dan perbuatannya. Apa yang dilihat oleh seorang pemimpin dikomunikasikannya lewat kata-kata dan tindakan nyata. Ia tidak sembarang mengumbar kata. Ia memikirkan dan merenung-renungkan setiap kata-kata yang akan diucapkannya. Ia mempercayai kekuatan kata. Ia menggunakan kekuatan kata untuk memberikan gambaran mengenai apa yang dilihat terutama oleh mata budi (eye of mind) dan mata batinnya (eye of spirit). Namun, pada sisi lain, seorang pemimpin sejati menyadari benar keterbatasan kata-kata. Karena itu ia bertindak, menyatakan kata-kata itu dalam bentuk perbuatan. Ia mengupayakan sedemikian rupa, agar kata-kata yang diucapkannya juga terlihat jelas dalam perbuatannya. Dengan demikian, baik kata maupun tindakan adalah ekspresi dari sebuah penglihatan (visi) yang dikomunikasikan dari dalam ke luar diri (inside out). Hasilnya adalah integritas, diri yang dikomunikasikan secara utuh (integer).
Apa yang sesungguhnya dilihat oleh mata budi dan mata batin seorang pemimpin? Mungkin ini: pertama, ia melihat kondisi aktual yang tidak memuaskan dirinya, realitas yang tidak ideal dan tidak berkesesuaian dengan potensi yang ada, baik dalam konteks organisasi maupun dalam konteks masyarakat dimana ia berada; kedua, ia melihat kemungkinan untuk mengintervensi realitas yang tidak ideal itu dan dengan demikian menciptakan suatu realitas baru di masa depan yang secara mendasar lebih baik; ketiga, ia melihat sejumlah agenda aksi (strategi dan sejumlah taktik) yang bisa dilakukan untuk mengubah realitas masa kini ke arah realitas masa depan yang diimpikannya itu; dan keempat, ia melihat peran, tugas dan panggilannya yang unik dan relatif tak tergantikan.
Karena penglihatannya itu, pemimpin tidak saja melihat dirinya sebagai peselancar yang menari di atas gelombang-gelombang perubahan zaman. Ia tidak melihat dirinya semata-mata sebagai pemberi respons atas berbagai gelombang besar perubahan. Ia juga melihat dirinya sebagai pembuat gelombang-gelombang perubahan itu sendiri. Ia tidak saja adaptif, mampu menyesuaikan diri, melainkan juga proaktif, mampu menginisiasi atau memprakarsai perubahan.
Sekalipun pemimpin melihat realitas masa kini sebagai kondisi yang sangat tidak memuaskan dirinya, namun ia bukanlah seorang yang sinis menatap masa depan. Ia tidak pesimistik, melainkan justru optimistik dan penuh harapan akan masa depan yang lebih baik. Dan tiap kali realitas masa kini mencoba “membunuh” harapannya, maka sang pemimpin berjuang untuk memfokuskan pandangannya kepada kemungkinan melakukan sesuatu untuk mengubah realitas itu. Ia tidak mau dipenjara oleh masa kini, tetapi memberikan dirinya untuk “ditawan” oleh masa depan. Ia sebabnya ciri utama seorang pemimpin antara lain adalah menyuarakan harapan, baik lewat kata maupun lewat tindakan nyata.
Bila kita dapat menyepakati bahwa kepemimpinan sejati dicirikan oleh visi, integritas (selarasnya kata dan perbuatan), dan harapan, maka mungkin kita juga dapat menerima kenyataan bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang telah kehilangan pemimpin. Yang kita miliki beberapa dekade terakhir ini adalah pejabat-pejabat, yakni orang-orang yang memahami kepemimpinan pertama-tama dan terutama sebagai sebuah jabatan elitis dan karenanya perlu diperebutkan. Yang kita miliki adalah manajer-manajer yang mengukuhkan status quo, mereka yang menerima realitas masa kini apa adanya, mereka yang mengikuti berbagai prosedur standar operasi yang sudah ada, mereka yang tidak pernah mampu mengubah haluan atau membuat perubahan.
Jadi, masalahnya sekarang adalah siapakah yang mau menguji dan menggugat kembali “penglihatannya”? Siapakah yang tidak merasa puas dengan kondisi Indonesia masa kini dan pada saat yang sama mampu melihat kondisi masa depan yang lebih berkesesuaian dengan potensi masyarakat bangsa dan negara Indonesia? Siapakah yang masih mampu menyelaraskan kata dan perbuatannya (membangun integritas)? Siapakah yang masih mampu mempertahankan harapannya? Siapakah yang masih melek mata budi dan mata batinnya? Mari kita cari orang-orang semacam itu, terutama di kalangan kaum muda. Dan mari kita nobatkan mereka menjadi pemimpin kita.[]

Kerja Pemimpin

Kita paham bahwa kepemimpinan bukanlah posisi atau jabatan. Karena itu pejabat, mereka yang memangku jabatan, belum tentu pantas di sebut pemimpin. Lihat saja sejumlah pejabat yang turun dari jabatannya, entah karena diturunkan atau pensiun, sebagian malah jadi pesakitan di mata hukum karena terkait korupsi; sebagian lagi mengalami post-power sindrom. Kalau ia benar-benar pemimpin, tanpa jabatan pun banyak orang akan tetap mengikutinya. Bahkan untuk pemimpin besar sekaliber Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Syahrir, setelah mereka wafat pun banyak orang masih dengan bangga mengaku sebagai pengikut setianya.
Kita paham bahwa kepemimpinan adalah pekerjaan. Cara menjadi pemimpin itu sederhana saja: kerjakanlah pekerjaan yang hanya pemimpin memilih melakukan jenis pekerjaan semacam itu; mereka yang bukan pemimpin akan menjauhi pekerjaan itu. Dan untuk itu tidak diperlukan apa-apa kecuali diri sendiri. Kekayaan besar tidak diperlukan, sebab pemimpin yang tidak kaya juga melegenda. Mahatma Gandhi, Bunda Teresa, dan Nelson Mandela adalah contohnya. Ketiganya juga memulai “karier” sebagai pemimpin tanpa modal nama beken, tanpa dukungan partai politik atau konglomerat yang luar biasa. Mereka memulai pekerjaannya dengan bekal seadanya.
Lalu apakah pekerjaan pemimpin itu? Apakah pekerjaan yang kalau dilakukan pasti membuat seseorang menjadi pemimpin? Mungkin tiga hal ini.
Pertama, pemimpin mengerjakan proses idealisasi, memikirkan hal-hal yang ideal. Pemimpin melihat kenyataan masa kini sebagai sesuatu yang tidak ideal, tidak seharusnya begini, dan sekaligus membayangkan sesuatu yang ideal, yang seharusnya ada, dan yang benar-benar bisa terwujud, suatu saat nanti. Jadi, pemimpin berpikir ke depan. Pemimpin berurusan dengan masa depan. Tepatnya masa depan yang lebih baik bagi setiap orang di lingkungannya.
Karena pekerjaan pemimpin selalu berkaitan dengan masa depan, maka ia adalah pembaca tanda-tanda jaman. Ia membaca situasi dan kondisi dengan cara yang khusus, cara-cara yang membuatnya mampu bersikap optimis. Ia mampu melihat peluang dalam setiap tantangan yang menghadang. Itulah pekerjaan pertama pemimpin, di seluruh dunia, di sepanjang jaman.
Kedua, pemimpin selalu bergairah untuk merumuskan apa yang ideal itu menjadi sesuatu yang sederhana dan mudah dikomunikasikan kepada orang banyak, terutama kepada konstituen yang mengikutinya dengan sukarela. Rumusan itu galib kita sebut visi, suatu penglihatan jauh ke depan tentang kemungkinan yang bisa tercipta dengan melakukan serangkaian aktivitas tertentu di masa kini.
Bung Karno bicara mengenai Indonesia merdeka dan bhineka tunggal ika. Bung Hatta bicara soal ekonomi kerakyatan. Gandhi, King, dan Mandela bicara soal perlawanan tanpa kekerasan. Bunda Teresa bicara soal cinta kasih kepada orang miskin. Semua itu rumusan visi yang sederhana, namun berdaya gerak luar biasa, ketika dikomunikasikan dengan keyakinan yang besar, dengan totalitas diri yang nyaris tanpa pamrih.
Ketiga, pemimpin selalu menawarkan agenda aksi. Mereka mencari strategi-strategi terbaik. Mereka mengajak bertindak. Mereka mengumpulkan orang untuk bergerak. Mereka berkolaborasi, melakukan koalisi, kerjasama kemitraan startegis, atau apapun nama dan istilah yang senyampang dengan itu. Mereka tak bisa diam, meski kadang mereka dipaksa menunggu waktu yang tepat untuk bertindak.
Visi yang besar dan jelas menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering untuk mencari cara merealisasikannya. Membicarakan visinya saja sudah membuat mereka bersemangat untuk segera bertindak. Dan dalam tiap tindakan (proses) merealisasikan visi itu, sang pemimpin memberikan dirinya total, nyaris tanpa pertimbangan. Ia ikhlas memberikan dirinya—baik waktu, tenaga, pikiran, perasaan, bahkan harta benda—dan sangat kurang memikirkan dirinya sendiri. Pamrihnya yang utama, kalau boleh dikatakan pamrih, adalah membuat visi itu menjadi nyata, menjadi realita dan fakta sejarah yang baru yang membuat dunia di sekitarnya menjadi lebih baik.
Dalam konteks bisnis, para pemimpin perlu berpikir keras untuk melakukan idealisasi dari usaha yang dipimpinnya saat ini. Seberapa idealkah keadaan perusahaan yang dipimpinnya saat ini, saat Amerika Serikat terpuruk oleh keserakahan yang diciptakannya sendiri? Bisakah para pemimpin bisnis—dalam berbagai tekanan krisis dan pesimisme kronis yang bersifat global—membayangkan bentuk yang lebih baik, lebih sempurna, dan lebih bermakna dari apapun yang sekarang eksis? Mampukah ia menerobos realitas dan seolah-olah menjadi “tidak realistis” karena berpikir ideal?
Jika idealisasi sudah makin mewujud, maka tantangan berikutnya adalah bagaimana memformulasikan hal itu menjadi visi bersama, visi organisasi, visi konglomerasi, yang dipahami oleh seluruh jajaran konstituen, pekerja, dan pengikutnya. Jika visi itu pernah ada, bagaimana merevisi hal yang penting itu dalam formulasi baru yang lebih “bernyawa” dan “berbunyi nyaring”. Formulasi dan reformulasi visi disatu sisi, serta upaya-upaya serius untuk mengkomunikasikannya dilain sisi, adalah dua keping dari satu mata uang, yang satu tak banyak berguna tanpa yang lain.
Selanjutnya, perlu diperbaiki agenda aksi berdasarkan strategi-strategi yang diperbaharui, yang telah diperkaya oleh tuntutan perkembangan jaman, yang memanfaatkan kecerdasan-kecerdasan terbaik dalam organisasi bisnis terkait. Inilah bekal bagi pelaksana lapangan untuk bertindak dari waktu ke waktu, namun tanggung jawab atas segala akibat yang ditimbulkan tetaplah dipundak sang pemimpin.
Jadi, wahai para pemimpin: bekerjalah!

* Andrias Harefa, Pelatih Trainer Berpengalaman 20 tahun; Penulis 35 Buku Best-Seller; Penggagas Visi Indonesia 2045. Dapat dihubungi di www.andriasharefa.com


Sumber : www.pembelajar.com