Thursday, August 13, 2009

TANGAN PEMIMPIN

Tangan adalah salah satu organ tubuh manusia yang paling sering dilibatkan dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. Mulai menggosok gigi, menyisir rambut, menyabuni tubuh, mengangkat, menulis, mengetik, menyalami, melambai, membelai, memijat, menggendong, memutar kunci, menggergaji, meng-klik ikon-ikon di keyboard, memetik gitar, menekan tuts piano, bertepuk, memukul, mencangkul, memotong, mencabut, dan banyak lagi yang lainnya. Bahkan “tanda tangan” dijadikan penanda yang nyaris disetarakan dengan sidik jari untuk menyatakan keunikan personal. Singkatnya, secara umum dapat dikatakan bahwa dengan tangannya manusia mengerjakan banyak pekerjaan untuk menyatakan kehadirannya sebagai manusia.
Secara simbolik kita dapat bertanya apakah yang dikerjakan oleh “tangan” seseorang yang menandakan bahwa ia layak kita sebut pemimpin? Hemat saya, pekerjaan pemimpin mungkin bisa diringkas menjadi mengerjakan sejumlah pekerjaan yang membuat masing-masing konstituen mengerjakan apa yang seharusnya mereka kerjakan untuk menciptakan suatu kehidupan bersama yang secara mendasar lebih baik di masa depan. Pemimpin tidak mengerjakan “semua hal” secara langsung, sebab itu memang tidak mungkin. Pemimpin ”hanya” mengerjakan pekerjaan tertentu, yakni pekerjaan yang hanya dilakukan oleh mereka yang memiliki kapasitas untuk memimpin. Nah, apakah pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki kapasitas sebagai pemimpin?
Sudah berulangkali saya tegaskan bahwa pekerjaan utama seorang pemimpin adalah melayani konstituennya (mulai dari anggota keluarga, pegawai, sampai warga negara), yang aktual maupun yang potensial. Pernyataan pemimpin sebagai “pemegang amanah” selaras dengan hal ini. Ia melayani bukan agar dilayani, melainkan agar konstituen yang dilayaninya dapat melayani kepentingan mereka sendiri sekaligus kepentingan masyarakat yang lebih luas. Dengan kata lain pekerjaan pemimpin itu adalah memprakarsai, memulai, mengambil inisiatif pelayanan atas dasar rasa tanggung jawab dan kepedulian yang tulus ikhlas untuk merintis perubahan organisasi dan masyarakat ke arah yang lebih baik. Ibarat bola salju, pemimpin memulai tindakan dengan “merendahkan dirinya” agar “menggelinding” dari puncak gunung salju (baca: jabatan formal kepemimpinan), merengkuh tiap bongkah salju yang dapat diraihnya, dan terus meluncur ke bawah, semakin lama semakin besar, sampai cukup besar untuk melindas setiap pohon (baca: hambatan) yang merintangi jalannya. Atau ibarat pemimpin orkestra yang memulai pertunjukkan dengan memberi aba-aba kepada kelompok pemusik yang satu, lalu mengundang kelompok pemusik lainnya, dan seterusnya, sampai sebuah simfoni yang indah bergema menjangkau audiens yang menonton pertunjukannya.
Dengan pemahaman yang demikian saya terpesona mendengarkan berbagai cerita (dan menyaksikan sebagian dari proses) perintisan pelayanan sosial kemasyarakatan yang dilakukan oleh suster-suster Sarekat Putri Kasih (The Daugther of Charity) di Kediri. Dalam kesempatan berbincang dengan Sr. Anna Wiwiek Supraptiwi, pejabat Provinsial Puteri Kasih Indonesia, saya mencari tahu bagaimana mereka memulai berbagai aktivitas pelayanannya, terutama dalam melayani orang-orang jompo, anak-anak loper koran, dan para yatim piatu. Dan kemudian saya menyadari bahwa apa yang dilakukan oleh para suster yang berpenampilan amat sederhana itu adalah pekerjaan yang hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang telah mengembangkan kapasitas kepemimpinan dalam dirinya.
Sebagai contoh, mereka saat ini mempunyai Panti Wreda St. Josep, yang didirikan sekitar tahun 1962. Pendirian panti yang satu ini bermula dari hal yang sederhana. Beberapa suster melihat seorang nenek yang yang terlunta-lunta di jalanan dan setelah diperhatikan tidak ada sanak keluarga yang mengurusnya. Karena belas kasihan, mereka membawa nenek ini ke susteran. Lalu satu per satu orang jompo yang terlunta-lunta di jalanan (sebagian dianggap gila oleh masyarakat setempat) diajak hidup bersama para suster itu, sampai jadilah sebuah Panti Wreda.
Contoh lain hampir setali tiga uang. Pada suatu pagi, dalam perjalanan pulang dari rumah ibadah, beberapa suster melihat satu-dua orang anak kecil berdagang koran di perempatan lampu merah. Ini bukan pemandangan yang biasa di Kediri waktu itu. Anak-anak ini didekati, lalu ditanya sudah sarapan belum. Ternyata mereka tidak pernah sarapan pagi. Lalu sang suster mengundang anak-anak ini mampir ke susteran bila ingin sarapan. Anak-anak yang belum terbiasa diperlakukan seperti itu tak memberikan tanggapan. Baru dua-tiga hari kemudian dua orang anak mampir ke susteran “menagih janji” untuk diberikan sarapan. Mereka pun dilayani dengan baik. Esoknya datang lagi, dan makin hari makin bertambah jumlahnya. Akhirnya didirikan rumah singgah khusus untuk anak-anak loper koran ini. Di rumah singgah itu anak-anak tidak saja mendapatkan sarapan pagi, tetapi juga didampingi mengerjakan tugas-tugas pelajaran sekolah dan sebagainya.
Pelayanan yang agak khusus adalah melayani para pengungsi di Sampang, Madura. Sejumlah suster berangkat dari Kediri untuk tinggal bersama para pengungsi dan membantu kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Mereka dibantu para relawan kemanusiaan yang tergerak hatinya ––sebagian adalah kaum muda NU–– untuk meringankan penderitaan pengungsi akibat perselisihan etnis di Kalimantan (Dayak versus Madura) beberapa waktu lalu. Hal yang sama mereka pernah lakukan di Papua dan (dulu) di Timor Loro Sae (Timtim). Sambil berseloroh para suster itu berkata, “kalau ada bencana di suatu daerah, kami langsung kebagian pekerjaan”.
Para suster Sarekat Puteri Kasih memang telah terbiasa untuk “melayani kemiskinan dan penderitaan di depan mata”. Ini telah dimulai sejak tahun 1633 di Paris, Perancis. Sarekat ini didirikan oleh St. Vincensius A. Paulo dan St. Louisa de Mirillac, dan menjadi sarekat yang unik karena mempekerjakan biarawati di luar tembok-tembok biara. Pada masa revolusi Perancis, para Puteri Kasih ini menolong banyak orang miskin yang menderita di sana. Lalu sejak 1931, lewat jaringan Puter Kasih dari Belanda, mereka datang ke Indonesia. Mulanya di Surabaya, namun kemudian berpusat di Kediri.
Di luar Sarekat Puteri Kasih, saya juga terpesona menyaksikan upaya para penerima Yap Thiam Hien Award, mulai dari Haji Muhidin, Jhony Simanjuntak, dan HCJ Princen (1992), sampai Ester Jusuf Purba dan Suraiya Kamaruzzaman (2001). Mereka semua adalah perintis, pemrakarsa, yang memulai suatu pelayanan, khususnya kepada kaum yang terpinggirkan. Tina di sekitar Senen, dan Mona di kawasan Kramat, adalah contoh lain dari kaum sarjana “populis” yang melayani anak-anak dan orang-orang miskin di Jakarta (Kompas, 24/12/01). Almarhum Romo Mangun di Kali Code dan Kedung Ombo, mendiang Solagratia S. Lumy dengan Kampus Diakonia Modern-nya, dan Wardah Hafidz yang memilih menjadi sahabat para tukang becak di Ibu Kota, adalah nama-nama lain yang juga memberikan pelajaran kepada kita tentang “pekerjaan tangan” seorang pemimpin.
Bila kita dapat menerima bahwa seseorang menjadi pemimpin dengan mengerjakan pekerjaan seorang pemimpin (the work of a leader), terlepas dari apakah ia diberi jabatan formal kepemimpinan atau tidak, maka semua orang yang saya sebutkan diatas adalah pemimpin. Bahkan lebih dari itu. Sesungguhnya potensi kepemimpinan ada dalam diri setiap orang (Harefa: Berguru pada Matahari, Gramedia, 1998). Sebab tiap orang sesungguhnya memiliki peluang untuk memulai, memprakarsai, menerima tanggung jawab untuk mengambil inisiatif dalam memulai tindakan sederhana (melayani sesamanya dalam skala dan kapasitas yang sesuai dengan dirinya) untuk menciptakan organisasi dan masyarakat yang lebih baik. Ada begitu banyak “pekerjaan” yang menanti untuk dikerjakan di negeri ini, dan semua itu ada “di depan mata”.
Masalahnya, dalam masyarakat kita kepemimpinan pertama-tama lebih dimengerti sebagai sebuah “jabatan” dan bukan sebuah “pekerjaan”. Ada begitu banyak orang yang sibuk berburu “jabatan”, tetapi malas bekerja apalagi sampai “menjadi pelayan” (being a servant). Banyak orang enggan mengambil inisiatif, memprakarsai suatu perbuatan baik, jika ia tidak melihat ada kemungkinan memperoleh “keuntungan” bagi dirinya sendiri (“jabatan” adalah salah satu bentuk “keuntungan” itu). Banyak orang enggan “mengotori tangannya” dengan pekerjaan yang penuh “lumpur” yang diwariskan oleh angkatan sebelumnya. Banyak orang yang lebih suka menjadi “kritikus” yang “bersih” karena tidak mengerjakan apapun.
Semua ini mungkin pertama-tama adalah masalah kurangnya kesadaran diri, dan kurangnya kepedulian sosial, atau bahkan tidak fungsionalnya hati nurani kita sebagai masyarakat bangsa. Dan akar-akar permasalahan ini boleh jadi bersumber pada mandulnya institusi-institusi formal di bidang kependidikan, kebudayaan, dan keagamaan. Jiwa status quo (anti perubahan) yang telah menyatu dengan berbagai institusi formal itu agaknya masih terlalu kokoh untuk ditumbangkan oleh gerakan reformasi yang hingga kini nampaknya masih setengah matang.
Jadi, entah berapa lama lagi kita harus menunggu lahirnya pemimpin-pemimpin baru dalam skala nasional, pemimpin-pemimpin yang mengerjakan pekerjaan sebagai seorang pemimpin, sekali pun dengan mengerjakan segudang pekerjaan itu––yang menuntut keringat dan tangan kotor––mereka tidak memperoleh “keuntungan” bagi dirinya sendiri.[]

No comments: