Tuesday, October 23, 2007

DUNIA MAYA

Setelah berkenalan, berbasa-basi sebentar, kami pun menjadi akrab cerita bermacam-macam mengenai diri kami masing-masing. Malam itu adalah perjalanan saya berkereta dari Bandung pulang ke Solo, pertengahan tahun 2006 lalu. Saya berbincang dengan sebelah saya, seorang muda, yang begitu ramah banyak cerita, dia mengaku seorang karyawan PNS, bekerja di Solo dan kebetulan sedang berlibur mengunjungi teman ke Bandung. Saya sendiri memang sesekali diminta mengajar menjadi dosen tamu di Bandung.

Sampailah saya bercerita kepadanya mengenai usaha kecil-kecilan yang saya –bersama dengan istri saya- rintis. Yaitu usaha toko online, menjual barang-barang dengan target pasar keluarga via internet.

“Ah, masih ada to, Pak,… yang mau beli barang lewat internet...” tiba-tiba spontan dia bertanya memotong penjelasan saya.

“Maksud Anda..?” tanya saya.

“Yaa.., saya denger-denger sih jual di internet tidak sebegitu bagus seperti harapan orang, ditambah lagi kan, banyak kasus penipuan.., jadinya sekarang kayanya orang takut kirim uang untuk pembelian barang di internet…” katanya.

Ketika itu, dalam hati memang saya tidak bisa memungkiri kebenaran atas ucapan teman baru saya itu. Ketika itu, berita mengenai bergugurannya bisnis dotcom memang selalu menjadi informasi utama di majalah bisnis maupun majalah komputer. Dan memang tidak main-main, para pebisnis dotcom yang gulung tikar itu adalah mereka-mereka yang juga merintis usahanya di dunia maya di Amerika sejak awal gegap gempitanya internet. Sementara di Indonesia sendiri, masih adem-adem saja, dan berita santer yang cukup didengar mengenai internet di Indonesia adalah begitu banyaknya pelaku carding di Indonesia. Pura-pura beli dengan memakai identitas kartu kredit orang lain.

Memang, setelah gemuruh dunia maya begitu menggema, orang pun seakan menaruh harapan begitu besar padanya. Bayangkan sebuah alternatif dunia lain selain dunia nyata yang kita tinggali ini, kita bisa berinteraksi kepada setiap orang di mana pun di dunia ini melalui layar komputer terhubung di dunia maya. Para Pebisnis pun begitu ngiler, berharap akan bisa menjadi terobosan inovatif akan usahanya, kalangan pendidik dan motivator berlomba-lomba menebarkan ide-idenya melalui e-book dan disebarluaskan melalui internet, baik gratisan atau harus beli, lembaga pemerintahan pun tidak ingin ketinggalan dengan berusaha menyajikan segala informasi di dunia maya. Sehingga membuat para programmer, designer, pengarang buku tentang internet dan pemrogramannya, tiba-tiba kebanjiran rejeki.
Program-program website pun bermuculan. Dari yang sekedar program untuk menampilkan company-profile, program yang bersifat portal dengan modul-modul multifungsinya, sampai program-program yang mendukung transaksi keuangan secara aman. Semua disiapkan. Para pebisnis, penulis, lembaga pemerintahan atau siapa saja yang mau masuk berinteraksi di internet seakan begitu dimanjakan. Bagaikan orang yang mau berenang, sementara di sebelah kolam sudah tersedia baju renang, kacamata berenang, tabung oksigen, sirip kaki, mau berenang pakai apa dan yang bagaimana tinggal pilih alatnya, semua ada.

Bagi para pelaku yang akan berinteraksi di dunia maya memang ada definisi yang mungkin kita sepakati dulu. Seperti istilah yang dikenal di dunia maya, ada yang disebut brick and click –hmm, namanya memang cukup keren- , istilah ini diberikan kepada setiap pelaku dunia nyata –umumnya usaha- yang kemudian juga memasuki dunia maya. Mereka umumnya pemodal besar, ‘supaya nggak ketinggalan jaman’ begitulah anggapan umum yang menempel pada mereka. Brick diibaratkan bangunan fisik yang sudah mereka miliki, sementara click adalah keterlibatan mereka memasuki dunia maya. Jadilah Perusahaan besar memasang juga website di dunia maya, walaupun sekadar company profile, tapi tak apalah yang penting akan muncul di search engine setiap nama perusahaan mereka diketik di kolom pencarian. Termasuk juga lembaga pendidikan terkenal, lembaga pemerintahan terutama yang merepresentasikan dunia IT yang seolah menjadi tuntutan wajib bagi mereka untuk juga tampil di dunia maya.

Para pelaku dunia maya juga membuat definisi brick and mortar , bagi mereka-mereka pelaku dunia nyata tapi ogah tampil di dunia maya. Mungkin mereka gamang, merasa belum melihat manfaat berarti, atau pernah punya pengalaman buruk di internet, entahlah. Kemudian ada lagi sebutan pure-play bagi yang memang merintis sesuatu dari awal hanya di dunia maya.

Lalu sekian lama berjalan, mengapa secara umum seperti layaknya ‘besar pasak dari pada tiang’? Mengapa harapan begitu besar itu seolah seperti jalan di tempat. Coba Anda lihat, para pelaku brick and click , mereka menyerahkan begitu saja tampilan mereka di dunia maya kepada content provider , atau kalau yang mampu bisa merekrut staf IT, yang seolah kebingungan wajah apa yang harus ditampilkan di dunia maya. Anda bisa melihat jarang sekali mereka rajin rutin meng-update apa yang mereka tampilkan di dunia maya. Mungkin tampilan mereka begitu indah, tapi itu-itu saja!

Bisa dibayangkan, sebuah perusahaan besar A punya website di internet. Perusahaan A yang memiliki tingkat awareness bagus tentunya banyak kemungkinan dilongok para peluncur dunia maya. Klik pertama, asyik bisa tahu segala informasi tentang perusahaan A, klik kedua sebulan kemudian,..lho kok informasinya sama,..klik ketiga, dua bulan berikutnya, ah,..masih sama, sehingga tak ada lagi ketertarikan orang berkunjung ke sana.

Sehingga bisa ditebak, para brick and click yang bisa terus hidup di internet dan selalu dikunjungi orang, adalah para pelaku dunia media informasi. Para pemilik stasuin TV yang kemudian memasang website yang berisi berita-berita dan acara TV yang disadur dalam bentuk tayangan interaksif internet. Kemudian surat kabar-surat kabar yang seolah tinggal menempelkan berita harian surat kabar mereka ke dunia maya.

Lalu bagaimana dengan para brick and click yang juga memasang transaksi di internet. Kembali bisa diduga, yang bertahan sebagian besar adalah yang punya nama. Bisa dimengerti karena tentunya orang lebih percaya kepada organisasi yang sudah punya nama. Orang tentu lebih yakin beli buku online di Gramedia-online –yang besar di dunia nyata- dari pada di ‘tokobukubaru.com’ misalnya. Atau agen-agen resmi pelumas besar yang memanfaatkan nama besar principle-nya semacam Shell, Petronas, Agip, yang menjual online juga. Orang tentu lebih ngeh bertransaksi dengan mereka dari pada toko oli kecil yang juga buka store-online.

Lalu bagaimana nasib para pure-play? Eh, fenomena apa ini? Ternyata mereka juga ada yang sukses, tuh! Tak jarang mereka justru berangkat dari usaha bermodalkan komputer terhubung, dikendalikan dari kamar kos atau garasi-garasi. Di tengah ‘jalan pelan’ dunia maya ini ternyata muncul juga nama besar Yahoo!, Google –nama salah eja tapi menjadi ngetop sampai orang tak begitu peduli bahwa spelling itu salah- , You-tube, Amazon.com, Multiply. Di dalam negri Indonesia sendiri ada Detik.com yang mencuat dikunjungi ratusan ribu orang setiap harinya sejak peristiwa suksesi kekuasaan tahun 1998. Ada Bali-online, ada Astaga.com. Kemudian Bhineka.com walaupun di awal mereka tidak murni pure-play, bisa dimaklumi, mereka harus survive, sehingga selain buka toko komputer online juga melayani penjualan secara off-line.

Memang ternyata, pemanfaatan teknologi internet ini tidak sehiruk pikuk inovasi teknologinya sendiri –baik software maupun hardware-. Walaupun terasa berjalan, interaksi dunia maya itu terasa seperti kura-kura dibanding si kancil teknologinya. Orang begitu berduyun duyun terkonek, dari yang hanya –di Indonesia- ratusan ribu sepuluh tahun lalu, sampai tercatat terakhir dua puluh juta individu masyarakat Indonesia sudah terhubung dunia maya. Itupun data dari sambungan kabel, belum termasuk sambungan wireless, atau pun pelaku multi-user di warnet, atau kantor-kantor.

Ah, sekian tahun pertumbuhan luar biasa individu terhubung itu ternyata masih dimanfaatkan hanya seputar e-mail, chatting, blogger, itu pun sebagian lebih suka membuat identitas alias di dunia maya ketimbang mengungkap identitas aslinya. Untuk bertransaksi, banyak yang masih takut-takut dan malu-malu seperti persepsi teman sebelah duduk saya di kereta setahun lalu. Dan sampai hari ini pun kurang lebih mungkin masih sama.

Hmm, dunia maya,.. di depan mata tapi seperti masih begitu jauh harus melangkah…, begitu dekat di mata tapi masih jauh di hati...[pa]

29 September 2007
Pitoyo Amrih
www.pitoyo.com - home improvement
bersama memberdayakan diri dan keluarga

No comments: